Dalam paket berita ini, ‘jualan’ mereka tampak pada bagian akhir tayangan. Sayang, seharusnya masalah ‘tantangan kendala bahasa’ dalam kepelatihan coach Luis Milla justru bisa dieksplorasi dari sebuah angle yang dikupas sejak detik-detik awal.
Fairuz Syifa, Erviana Bastian, Frindy Ingkiriwang, Shafira Hestiandari dan Wulan Tasiam bahu-membahu mengerjakan project Ujian Tengah Semester kelas Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara dalam program yang mereka namakan Jurnal Sport ‘APA TV’.
Angle yang ditampilkan masih sangat umum. Seputar suasana latihan, perlengkapan yang dibawa, serta bagaimana metode latihan yang diterapkan Milla, Bima Sakti dan kawan-kawan.
Sebenarnya keunggulan sudut pandang yang mereka temukan ada pada bagian akhir, saat pertanyaan diajukan pada Dimas Drajad tentang bagaimana mengatasi kendala bahasa. Alangkah bagusnya bila persoalan ini yang disorot dan jadi angle sejak durasi awal tayangan. Misalnya dikatakan, “Pernahkah Anda bayangkan, tiga pelatih timnas diisi pria Spanyol, yang tak paham bahasa Indonesia dan bahasa Inggris?” lalu muncul natural sound teriakan-teriakan dari atmosfir suasana latihan.
Kelebihan dari tayangan ini yakni OBB yang memikat –dengan jujur dikatakan bahannya diambil dari youtube- maupun penulisan CG dengan komposisi khas. PTC Fairuz sudah oke di awal. Tidak terlalu panjang dan lebih bersifat sebagai ‘pengantar menuju paket selengkapnya’.
O ya, satu lagi untuk kritikan atribusi pada CG. Sebaiknya atribusi untuk Dimas Drajad ditulis sebagai ‘pemain timnas’ dan bukan ‘pemain PS TNI’. Karena dalam konteks ini yang dibicarakan yakni Dimas sebagai penyerang tim nasional U-22.
Behind the scene
Tak kalah dengan peralatan yang dibawa tim kepelatihan timnas U-22, kelompok ini pun membawa senjata lengkap ke lapangan. Dua kamera utama, Canon 1200D dan Canon 1100D, dilengkapi lensa kit dan lensa tele menjadi penunjang.
“Kendala utama kelompok kami yang anggotanya perempuan semua adalah kurangnya pengetahuan kami tentang sepak bola. Sehingga kami cukup kesulitan untuk mencari angle liputan,” kata Frindy.
Adapun Fairuz merasa tertantang ditunjuk sebagai reporter PTC. “Ternyata membuat naskah PTC cukup sulit. Selain itu, mengatasi grogi, mengatur nada, mengatur nafas, dan ekspresi di depan kamera untuk PTC juga cukup sulit. Saya berulang-ulang kali melakukannya untuk mendapat hasil yang jauh lebih baik,” kisahnya.
Erviana, penulis naskah memaparkan, ia mendapatkan pengalaman baru mengenai bagaimana teknik wawancara kepada narasumber dengan baik. “Juga pelajaran langsung bagaimana mengatur komposisi penepatan seorang campers dan audioman yang sesuai. Pengalaman berharga pula bisa berjumpa dengan jurnalis yang ahli dalam bidang ini, sehingga menambah semangat saya untuk terus belajar dalam dunia jurnalistik ini,” paparnya.
Shafira dan Wulan pun bercerita tentang kisah unik kerjasama mereka merekam sound of tape (SOT) di tengah kerumunan jurnalis senior dari media arus utama. Saat itu Wulan langsung menyelipkan badannya untuk mendapatkan tempat di antara para wartawan. “Saya saat itu tidak mengetahui keberadaan Wulan dan saya sempat berpikir, siapa yang merekam wawancara pelatih tersebut dari bagian kelompok kami?” kata Shafira. Pada saat liputan selesai, ia baru menyadari jika Wulan yang sedari tadi merekam dan dia mendapatkan tempat tepat di depan pelatih saat diwawancarai.
Wulan mengakui, pengalaman merekam SOT sangat menarik karena bisa berdiri dekat dengan narasumber ternama. “Beruntung juga pada saat liputan ada beberapa media besar yang ikut meliput sehingga kita para mahasiswa bisa melihat langsung bagaimana cara kerja wartawan di lapangan,” jelasnya.