Menamakan diri dalam program ‘Ubur-Ubur Siang’, kelompok ini menyajikan keceriaan saat meliput konser Boy Band asal Korea di Serpong.
Yashinta Sari, Eveline Marieta, Dyah Puspita, Nabila Aulia dan Amanda Puspa dan Stephanie Florentia mengemas berita suasana BTS di Indonesia Convention Centre dengan variatif untuk karya Ujian Akhir Semester mata kuliah TV Journalism Universitas Multimedia Nusantara. Ada seorang presenter studio, satu wajah reporter tampil di paket pengantar live dan dua reporter saling ber-‘tek tok’ melaporkan suasana jelang konser
Proses produksi dan pascaproduksi secara keseluruhan keren. Footage mereka pun cukup kaya. Ada visual dari youtube dimasukkan, juga desain grafis yang menampilkan bagaimana komposisi tempat duduk penonton konser berdasarkan harga tiket. Sebuah variasi show yang cukup lengkap.
Kalau pun dibilang kurang, lagi-lagi kelompok ini termasuk yang ‘malas’ membuat chargen/CG sebagai teks pemberi keterangan di layar. Peran CG sangat penting, karena tak semua pemirsa televisi mengetahui isi audio-visual yang ditampilkan dengan jelas.
Dari sisi penampilan para personnya, ada input khusus terkait semangat. Jadilah orang yang bersemangat, dan itu dapat dilihat dari rona muka maupun ketegasan bersuara. Suara presenter Dyah Puspa tampak kurang power dan masih terbata-bata. Kurang bisa mengimbangi keceriaan kawan-kawan di lapangan yang tampak exicted, terutama Amanda. Semoga ini hanya masalah jam terbang.
Kesan tim
Yashinta yang bertugas sebagai pengisi suara paket, reporter, editor maupun penulis naskah menceritakan bagaimana sukses mendapatkan atmosfir suara penonton berteriak-teriak ‘BTS, BTS’ yang kemudian membuat paket liputan jadi lebih hidup.
“Salah satu kendala kami yakni sulitnya mencari narasumber khususnya dari ARMY –sapaan untuk penggemar BTS- yang bergerombol ‘rame’ dan mau diwawancarai. Selain itu kami juga berhadapan dengan susahnya mencari stockhshoot, take PTC, live report, news anchor dan wawancara pedagang dalam waktu yang agak mepet dengan para ARMY yang mau memasuki venue konser,” paparnya.
Merasa tidak begitu paham dengan BTS, akhirnya membuat mereka riset dengan mengamati fanbase ARMY di twitter, sampai pada akhirnya mereka tahu akan adanya fans project. “Ada kejadian tidak terduga, di mana kami mendapat natural sounds yang lumayan bagus. Pada saat itu ARMY bersama-sama meneriaki seseorang yang berada di jendela hotel,” kenangnya. Mereka berteriak “Oppaaaa” kepada orang tersebut yang mereka kira salah satu personil dari BTS. Ternyata bukan. Lalu juga saat mereka berteriak ‘BTS BTS BTS’. “Itu menjadi moment yang bisa dibilang berharga untuk bisa menghidupkan suasana di video peliputan,” papar Yashinta.
Sebagai cameraperson dan editor, Eveline menguraikan rumitnya pekerjaan terutama saat mensinkronkan visual dan audio dalam proses pascaproduksi. Sebagai campers, Eveline dan tim berbekal 3 camera, 3 memory card dan 1 tripod. “Tapi, meski sempat hampir putus asa saat mengedit, intinya seru, bisa tahu cara kerja wartawan dalam peliputan konser, dan punya pengalaman yang bisa di agi ke orang lain dalam masa peliputan dan editing,” jelasnya.
Juru kamera lain, Nabila, menekankan pentingnya datang lebih awal di lokasi. “Saat itu kami datang lebih awal lalu berpencar dan segera mencari tempat yang pas untuk melakukan pengambilan gambar, bersenjatakan 4 kamera dan 1 Tripod untuk mengambil insert-insert yang mendukung,” urainya.
Dyah Puspita, anchor yang juga ikut turun ke lapangan, menekankan pentingnya komunikasi dan soliditas tim. “Kendala yang dihadapi kurangnya komunikasi yang jelas dalam kelompok, kerjasama yang dilakukan sudah cukup baik. Solusinya semoga kedepannya bisa menjadi lebih baik lagi dari yang sudah-sudah,” ungkapnya.
Amanda, reporter yang energik itu, menegaskan pentingnya kesiapan alat liputan. Mereka belajar banyak dari peliputan latihan tim nasional saat Ujian Tengah Semester lalu. “Saat meliput timnas yang lalu, kami memiliki kendala pada memori dan juga jumlah kamera, oleh karena itu untuk liputan kali ini kami lebih mempersiapkan alat-alat dengan sebaik mungkin,” kenangnya.
Sebagai reporter live untuk kali pertama, Amanda mengaku masih ada yang missed juga. “Karena ini merupakan pengalaman pertama saya mewawancarai narasumber secara langsung di kamera, jadi saya sempat merasa gugup, sehingga kemudian saya lupa pertanyaan yang sudah saya siapkan kemarin,” ungkapnya. Tidak hanya itu, karena gugup dan terburu-buru untuk mengejar narasumber, lupa ia seharusnya memakai earphone karena saat itu bertugas untuk live report. Beruntung, keceriaan dan semangatnya menutupi kelemahan itu.
Adapun Stephanie sang reporter PTC –yang memakai nama layar Fanny Godjali- bercerita, awalnya ia cukup kesulitan untuk menyebutkan nama acara fans greeting yang sempat diadakan BTS pada tahun 2015 ketika mereka berkunjung ke Indonesia di Kota Kasablanka. “Karena berbahasa Inggris dan kata-katanya cukup sulit sehingga saya mengulang beberapa kali take rekaman,” katanya.
Kerja tim sebagai jurnalisme televisi pun menjadi hal menarik yang dipelajari Fanny. “Saya juga belajar ternyata kerjasama itu sangat penting dan juga komunikasi, menjadi seorang jurnalis itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan apalagi ketika berbicara sering kali dilihatin sama orang-orang yang lewat dan itu juga membantu melatih kepercayaan diri,” kenangnya.
Ia menggarisbawahi untuk tidak mudah untuk menyerah, terus belajar dan berlatih karena semua adalah proses. “Suatu saat pasti akan terus membaik, lebih perbanyak komunikasi karena itu sangat penting juga dengan kerjasama,” tegasnya.