“Kami sebagai bagian dari suporter klub sepakbola Indonesia sepakat untuk menunjukkan loyalitas pada klub masing-masing dan menghormati pertandingan dengan tidak menunjukkan sikap permusuhan pada kelompok suporter yang lain dan masyarakat pada umumnya.”
Ikrar itu terpampang dalam papan tulis putih yang ditandatangani para perwakilan suporter dari berbagai daerah di Indonesia. Digelar dengan persiapan mepet bak fragmen ‘Bandung Bondowoso’, gelaran ‘Jumpa Suporter Sepakbola Indonesia bersama Menpora Imam Nahrawi’ berlangsung sukses di Wisma Kemenpora, Jakarta, Kamis, 3 Agustus 2017.
Keprihatinan atas meninggalnya Ricko Andrean Maulana, bobotoh korban pengeroyokan saat menonton laga Persib vs Persija di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, pada 26 Juli lalu benar-benar memukul dunia sepakbola Indonesia.
Ricko tercatat merupakan korban nyawa ke-55 dalam deretan suporter sepakbola Indonesia yang meninggal dunia terhitung sejak 1995 hingga saat ini. Dimulai dari Suhermansyah, bonek Persebaya yang terhimpit di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta pada 28 Januari 1995, nama demi nama terus berjatuhan dalam tragedi persepakbolaan kita. Ada yang jatuh dari kereta api, terlindas truk, pengeroyokan di tol, korban gas air mata hingga perkelahian di area stadion.
Tentu saja nama-nama itu bukan sekadar statistik. Harapan dan berbagai usaha nyata terus dilakukan agar tak ada lagi nama-nama baru sebagai korban. Agar sepakbola bisa menjadi olahraga yang indah dan menggembirakan.
“Kita tak boleh berhenti berusaha. Usaha apapun itu sangatlah mulia, apalagi usaha mempersatukan suporter Indonesia. Sudah saatnya melihat sepakbola sebagai alat pemersatu. Hentikan kerusuhan dan yel-yel rasisme,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, inisiator ‘Jumpa Suporter Sepakbola Indonesia’.
Menpora menegaskan, acara yang mengumpulkan puluhan perwakilan suporter itu sengaja menghidangkan aneka soto sebagai hidangan santap siang. Bermacam soto tersaji di dua sayap ruang pertemuan Wisma Menpora. Imam menjelaskan, “Ada Soto Madura, Soto Betawi, Soto Lamongan, Soto Sulung, Coto Makassar, Soto Banjar, Soto Bandung, Soto Medan, Soto Padang, Soto Semarang, dan lain-lain. Berbeda-beda soto, namanya tetap soto. Berbeda-beda klub, namanya tetap Indonesia…”
Dihadiri Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi, Wakil Ketua Umum Joko Driyono, Sekjen Ratu Tisha Destria, Direktur PT Liga Indonesia Baru Berlinton Siahaan dan perwakilan Mabes Polri, ‘Jumpa Suporter Sepakbola Indonesia’ memberi rekomendasi agar hukum bisa lebih ditegakkan pada berbagai pelanggaran yang menodai kedamaian dan keindahan sepakbola Indonesia.
“Nyanyian dan tulisan dalam spanduk yang mengandung rasisme itu ditayangkan secara langsung melalui televisi dan disaksikan masyarakat luas, termasuk anak kecil. Harus ada tindakan tegas kepada mereka, karena tindakan itu meracuni generasi muda bangsa kita,” kata Anto Baret, pentolan suporter asal Jawa Timur yang sudah puluhan tahun mengembara dan hidup bersama anak jalanan Jakarta.
Meski dilaksanakan dalam persiapan singkat merespon tragedi Gedebage dan tak dihadiri lengkap semua perwakilan kelompok suporter, acara ini jadi tonggak bersatunya suporter Indonesia. Pasca ‘Jambore Suporter Indonesia’ di Bali sepuluh tahun silam, nyaris tak pernah ada wadah yang mengumpulkan para suporter Indonesia untuk bertemu, duduk bareng dan berbicara tentang masa depan sepakbolaan Indonesia nan damai dan bebas dari anarkisme.
Problem selanjutnya, bagaimana mengawal implementasi dari pertemuan bersejarah ini pada perubahan sikap dan tindakan di kalangan akar rumput para pencinta sepakbola nasional. Seperti disampaikan Rere Hanggara, dedengkot suporter dari PSMS Fans Club yang mengapresiasi forum ini. “Harapannya, jangan lagi ada bentrok antar suporter. Persoalannya, ini kan hanya atasan saja yang datang, bagaimana dengan suporter di tingkat bawah,” kata pria yang sebenarnya datang ke ibukota untuk mendukung tim ‘Ayam Kinantan’ berlaga melawan Pro Duta di Cengkareng, Jakarta Barat.
Bonaryo, dari ‘Spartacks’ alias Suporter Padang dan Anak Rantau Cinta Kabau Sirah ingin agar pertandingan sepakbola tak lagi identik di kerusuhan. “Kami mengobarkan salam ‘Sasaka, Salam Sanak Sakampuang’, agar suporter sepakbola Indonesia berdamai, menghargai perbedaan dan melupakan permusuhan,” kata pendukung berat Semen Padang itu.
Imam Nahrawi harus dipastikan tidak berjalan sendiri. Komitmen telah dibuat, tanda tangan telah dibubuhkan, spanduk perdamaian telah dibentangkan. Namun, bagaimana mengawal hari-hari ke depan, menjadikan sepakbola Indonesia sebagai olahraga pemersatu anak bangsa, dan bukan justru memisahkan serta menyekat berbagai kelompok, menjadi tugas berat yang harus kita jalankan bersama.
Agustinus Rahardjo
*) Penulis biasa disapa ‘Jojo’, lahir sebagai bonek Niac Mitra, Persebaya, dan Mitra Surabaya, serta besar sebagai pendukung virtual Liverpool. Pernah bekerja sebagai koordinator peliputan Kompas TV, CNN Indonesia TV, serta wartawan media cetak, online, dan radio. Saat ini menjadi Tenaga Ahli bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi pada Kantor Staf Presiden. Dapat dihubungi melalui twitter: @jojoraharjocom
Dimuat di https://sport.detik.com/aboutthegame/umpan-silang/d-3586480/diplomasi-soto-ala-nahrawi-untuk-suporter-yang-bersatu