Speechless, sedih. Begitulah saat mencerna berita meninggalnya Tiara Debora Simanjorang, bayi empat bulan putera pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi yang menghembuskan nafas terakhirnya di RS Mitra Keluarga Kalideres.
Tak bisa dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) atau ruang ICU khusus anak karena dianggap orangtuanya tak cukup punya dana, Tiara yang awalnya batuk pilek tak bisa tertolong. Pihak rumah sakit minta uang tunai Rp 19 juta, sementara pasangan muda yang datang bermotor ini hanya punya uang Rp 5 juta.
Sudah saatnya, kejadian memilukan ini tak terulang lagi. Sudah saatnya rumah sakit tak berorientasi pada keutungan dan mengedepankan fungsi kemanusiaan atau pelayanan sekolah.
Sudah saatnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ditegakkan. Pasal 29 ayat 1 huruf b UU itu menegaskan, “Kewajiban rumah sakit memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan
kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.”
Adapun huruf f dari Pasal 29 UU RS berbunyi bahwa “Rumah sakit berkewajiban melaksanakan fungsi sosial dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.”
Dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009, pasal 32 ayat 1 menyatakan dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Pemerintah Pusat & Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan kepada rumah sakit. Dan dalam ayat yang 5, dalam pengawasan dan pembinaan yang dimaksud, Pemerintah, Pemerintah Daerah bisa melakukan teguran sampai pencabutan izin.
Kementerian Kesehatan tak tinggal diam atas kasus ini. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, drg. Oscar Primadi, MPH, menegaskan bahwa pasien peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) atau peserta BPJS Kesehatan bisa mendapatkan pelayanan kegawatdaruratan di RS yang belum bekerjasama dengan BPJSK dan tidak dikenakan biaya. UU Nomor 44 tahun 2009 Rumah Sakit dan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, mewajibkan rumah sakit untuk mengutamakan penyelamatan nyawa pasien dan tidak boleh meminta uang muka
“Semua rumah sakit, baik yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan atau belum, wajib memberikan pelayanan gawat darurat pada pasien yang membutuhkan. Peserta BPJS Kesehatan tersebut tidak boleh ditagih biaya, karena sebenarnya RS dapat menagihkan pelayanan kegawatdaruratan pasien JKN tadi kepada BPJS Kesehatan”, tuturnya.
Berdasarkan Undang-undang Rumah Sakit, pemerintah dapat memberikan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis hingga pencabutan izin RS, apabila terbukti terdapat kelalaian. Untuk memberikan sanksi tersebut, perlu dilakukan penelusuran mendalam atas kejadian atau dilakukan audit medis. Saat ini, Kementerian Kesehatan telah meminta Dinas Kesehatan dan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan penelusuran dan indentifikasi kejadian ke Rumah Sakit dan keluarga pasien.
Editorial Media Indonesia, Senin 11 September 2017 berjudul ‘Misi Sosial Rumah Sakit’ jelas menyatakan, “Kita khawatir salah satu penyebab peristiwa semacam ini ialah rumah-rumah sakit, baik swasta maupun milik pemerintah, sudah terlalu mengedepankan aspek komersial. Kita pun khawatir rasa kemanusiaan dan tanggungjawab sosial dari lembaga rumah sakit mulai meredup.”
Rumah sakit memang tak bisa dipisahkan antara fungsi sosial dan juga fungsi ekonomisnya. Saat menulis artikel ini, seorang kawan yang pernah menjadi direksi sebuah rumah sakit swasta di kawasan Tangerang Selatan mengisahkan ‘lingkaran setan’ yang terjadi di dunia rumah sakit. “Dokter ditekan oleh direksi agar, selain obat laku, kamar juga selalu terisi dan peralatan rumah sakit terpakai optimal. Maka, tak heran jika pasien sakit sedikit saja, yang keluar rekomenadasi menginap. Orang cuma flu doang, harus di-rontgen,” kisahnya.
Tapi, begitulah. Sebuah rumah sakit begitu beroperasi harus berpikir bagaimana mengembalikan utangnya. Tentu dalam hal ini pasien lagi yang kena sasaran. “Tuntutan balik modal sudah jelas. Bagaimana tidak, beli meja saja, harus pakai duit bank,” papar kawan ini. Tak lama ia menunjukkan pesan dari percakapan pintarnya, bahwa saat ini sedikitnya ada 32 rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya dijual. Penawarannya berkisar antara puluhan miliar hingga 1 koma sekian triliun rupiah.
Kawan baik ini menerangkan, ini jelas pencerminan dari kegagalan manajemen. “Mereka tak siap menghadapi perubahan. Dari rumah sakit yang awalnya memutar uang dari pelayanan murni, kini generasi kedua RS yang mendasarkan tiang incomenya dari pinjaman bank maupun investasi penanam modal,” urainya.
Rumah sakit harus kembali ke kata dasarnya: memberikan ‘hospitality’ alias kenyamanan bagi siapa saja yang berkunjung dan berobat ke sana. Jangan sampai, karena alasan uang tak mencukupi, nyawa pun melayang begitu mudah. Sudah, cukup Tiara Debora Simanjorang saja yang jadi pelajaran berharga bagi kita. Semoga Tiara Debora adalah pelajaran terakhir.
Rest in Peace, dik Tiara..
Sebagaimana tayang di http://tz.ucweb.com/9_16UmK