Nama Halimah Yacob melambung di mesin pencarian hari-hari ini. Maklum, Rabu hari ini, perempuan 63 tahun itu akan dilantik menjadi presiden kedelapan Singapura, dalam sejarah negara pulau itu berdiri pada 9 Agustus 1965. Halimah menggantikan Tony Tan, yang menjabat Presiden Singapura sejak 1 September 2011 hingga 31 Agustus 2017 lalu.
Sebagai negara parlementer, Presiden Singapura memang tak seterkenal dan sementereng perdana menterinya. Sistem politik Singapura mirip dengan Inggris, di mana Ratu Inggris menjabat sebagai presiden sebagai jabatan formal. Sedangkan jabatan dan kuasa pemerintahan berada di wilayah kewenangan Perdana Menteri.
Sebagai kepala negara, Presiden menjadi simbol persatuan nasional berhak memimpin acara penting nasional, seperti Parade Hari Nasional dan Pembukaan Parlemen. Presiden juga berhak mewakili Singapura pada tingkat tertinggi dalam hubungan internasional.
Sebelum tahun 1991 presiden di negeri singa itu hanya memegang peran secara seremonial sebagai kepala negara yang mewakili seluruh warga Singapura. Ia dipilih oleh parlemen. Sejak diubahnya konstitusi pada 30 November 1991 presiden memiliki kewenangan tertentu. Ia, diantaranya diberikan wewenang berupa hak veto terhadap anggaran negara yang diajukan pemerintah, mengawasi jalannya pemerintahan, dan mengangkat pejabat negara.
Presiden dipilih langsung oleh warga untuk masa jabatan enam tahun. Secara historis, presiden di Singapura menjadi tokoh pemersatu untuk mewakili Singapura yang multietnis, seperti dilansir Straits Times, Minggu 3 September 2017. Komisi Konstitusi, yang menggambarkan fungsi simbolis ini, mengatakan, “Tidak ada petugas publik lain–tidak perdana menteri, ketua pengadilan, atau ketua parlemen– yang dimaksudkan untuk menjadi personifikasi negara dan simbol persatuan dalam cara kepresidenan itu.”
Pada 8 November 2016, Perdana Menteri Lee Hsien Loong mengatakan, bahwa pemilihan presiden pada 2017 akan diperuntukkan bagi kandidat dari etnis Melayu, karena Singapura belum memiliki seorang pun presiden dari etnis tersebut sejak skema kepresidenan ini diperkenalkan pada 1991.
Gagasan itu berangkat dari kenyataan bahwa masyarakat Singapura terdiri dari multi ras. Ada etnis China (74,1%), Melayu (13,4%), dan India (9,2%), dan lainnya 3,3%.
Nah, dalam 30 tahun terakhir Presiden Singapura selalu berasal dari etnis China dan dua periode India. Selain Devan Nair, Sellapan Ramanathan yang keturunan India pernah menjadi Presiden Singapura selama 12 tahun. Adapun presiden-presiden lain, setelah presiden pertama Yusof Ishak, politisi Melayu yang gambarnya tertera di mata uang dolar Singapura, didominasi warga etnis China. Dari Benjamin Sheares, Wee Kim Wee, Ong Teng Cheong, hingga Tony Tan.
Amandemen Konstitusi
PM Lee Hsien pun mengusulkan amandemen konstitusi yang memungkinkan etnis minoritas menjadi Presiden Singapura.
“Ini (Singapura) bukan milik suku China, Melayu atau India. Semua orang memiliki tempat ini, semua orang sama. Rakyat percaya cita-cita ini dan percaya bahwa kita memiliki perkembangan untuk mencapai cita-cita itu,” kata Lee dalam wawancara dengan media Singapura, 4 September 2016.
Menurut dia, sangat penting pada suatu waktu etnis minoritas menjadi Presiden Singapura, karena seorang pemimpin bangsa mewakili seluruh rakyat di negeri Singa itu. Dalam pandangan PM Lee, presiden Singapura harus mencerminkan masyarakat inklusif dan multiras.
“Kemudian rakyat akan melihat, Ya inilah negaraku. Seseorang seperti saya bisa menjadi pemimpin dan dapat mewakili negaranya,” kata Lee seperti dikutip dari Straitstimes, edisi 4 September 2016.
Setelah melalui perdebatan alot di parlemen, pada awal November 2016 konstitusi Singapura diubah. PM Lee menetapkan bahwa kursi presiden Singapura untuk enam tahun ke depan untuk orang keturunan Melayu.
“Singapura akan punya presiden Melayu lagi, setelah lebih 46 tahun, sejak Presiden Pertama Encik Yusof Ishak,” katanya.
Sejak perubahan konstitusi itu, lima politikus keturunan Melayu disebut menjadi calon kuat presiden Singapura. Mereka adalah Halimah Yacob (62), Abdullah Tarmugi (72), Yaacob Ibrahim (61), Masagos Zulkifli (53), serta Zainul Abidin Rasheed (68).
Jadilah, Halimah, isteri seorang pengusaha bernama Mohammed Abdullah Alhabshee, menjadi presiden Singapura selama enam tahun mendatang. Ia memiliki lengkap tiga minoritas: Melayu, Islam, dan perempuan. Sebagaimana kisahnya menjadi perempuan pertama yang memimpin DPR, Halimah mencetak sejarah dalam catatan emas pluralisme dan anti diskriminasi negeri ini.
Tentu saja, ada kenegarawanan PM Lee yang patut dicatat dalam proses ini. Tapi, Singapura layak menjadi inspirasi, karena menunjukkan pada rakyatnya -dan pada dunia tentu saja- bahwa siapa saja, dari kalangan etnis apa saja, dari jenis kelamin dan agama apa pun, bisa meraih cita-cita yang mulia sebagai pemimpin negara.
Di luar urusan demokrasinya yang memang masih semu dan semi otoritarian, kita belajar dari negara kecil yang seolah-olah menari-nari di depan kita. Singapura seperti berteriak kepada tetangganya, “Hei, Indonesia, kami memberi kesempatan sejajar kepada siapapun warganegara, untuk berhak bermimpi dan berkarya yang terbaik bagi negeri ini. Tanpa ada sentimen agama, etnis maupun sisi-sisi minoritas apapun..”
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/9_1fpeE