Pagi ini, viral percakapan di berbagai grup percakapan pintar didominasi oleh kabar IJP, politisi senior Partai Golkar yang dikabarkan menjalani pemeriksaan di kepolisian karena dugaan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Rabu malam kemarin, Indra Jaya Piliang dikabarkan ditangkap di sebuah karaoke kawasan Jakarta Barat dengan barang bukti bong, cangkong dan satu plastik bekas pakai. IJP diamankan bersama dua kawan baiknya, para aktivis yang secara usia layak disebut sebagai ‘junior’-nya. Untuk tahap awal, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyatakan, tes urin ketiga orang itu positif mengandung narkona.
Namanya juga media sosial. Namanya juga politisi. Namanya juga kultur orang Indonesia yang masih suka SMS ‘Senang Melihat Orang Lain Sedih’ dan ‘Sedih Melihat Orang Lain Senang’. Maka, berita tertangkapnya IJP pun menyebar luas. Viral. Dari Twitter, Facebook, media online dan percakapan telepon pintar. Bahkan, ada juga yang mengangkat sisi personal IJP sebagai politisi dengan berbagai rekam jejak di belakangnya.
Setiap orang bisa berbuat apa saja. Dalam kasus hukum, yang menjadi patokan akhirnya adalah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Di situlah kita mengenal dan wajib menaati azas ‘Praduga Tak Bersalah’. Bahwa siapa saja yang tersangkut kasus hukum di Indonesia tak boleh diperlakukan sebagai yang bersalah, sampai pengadilan yang ‘in kracht’ sudah menyatakan dia sebagai terpidana dengan kekuatan hukum tak bisa dibanding lagi.
Nah, apalagi untuk kasus seperti IJP ini yang masih harus menjalani masa pemeriksaan di tingkat polisi 1×24 jam. Kita wajib menaruh respek pada setiap proses hukum. Biarlah polisi bertindak, mencari dan memastikan barang bukti, mengeluarkan pernyataan resmi (bukan pesan bocoran yang beredar dari grup-grup percakapan pintar) serta melanjutkan ke proses kejaksaan dan pengadilan jika memang semuanya memenuhi persyaratan secara hukum.
Saya mengenal IJP sebagai sahabat. Saat menjabat produser dialog KompasTV, saya dengan mudah mengundangnya sebagai tokoh politik, dari Partai Golkar, baik posisinya sebagai Ketua Bidang Litbang maupun mewakili juru bicara pasangan calon presiden dan wapres Jokowi-JK. Bahkan dalam waktu sangat mepet beberapa jam menjelang on-air pun, IJP selalu menyatakan kata ‘siap’, dan segera hadir di Studio KompasTV Palmerah Selatan. Gaya bicaranya selalu jernih, bernas, dan penuh intelektual.
Setelah era pemerintahan baru, IJP mengundang saya dalam salah satu grup percakapan telepon pintar yang anggotanya sangat beragam. Ada yang bersuara sebagai pendukung JKW-JK secara rasional, namun tak sedikit member grup itu yang sangat kritis dan satir terhadap pemerintahan saat ini. Dari grup percakapan itu saya pun beroleh informasi lebih seimbang, meski ada juga beberapa kawan sehaluan yang memilih ‘left group’ karena pernyataan satir dari kelompok anti pemerintah terlalu kencang. Sebagai moderator, IJP hanya muncul seperlunya, terutama saat memperkenalkan anggota baru yang tokoh-tokoh papan atas bangsa ini.
Tentu saja, saat tulisan ini dibuat dan published di UC Web, IJP sedang tak membaca. Dalam proses pemeriksaan, klarifikasi atau apapun namanya dari pihak kepolisian, tentu terperiksa tak boleh bawa ponsel atau terhubung dengan internet. Karena itu, baiklah kita bersabar, melihat segala sesuatu secara positif. Tetap menegakkan praduga tak bersalah.
Sudahilah pola berpikir ‘Senang Melihat Orang Susah’ dan ‘Susah Melihat Orang Senang’. Dari segala sesuatu kita akan belajar. Dan, sahabat yang baik akan ikut menangis saat kawannya susah. A friend in need is a friend indeed.
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/9_1kn5Y