Grup percakapan pintar saya penuh berbagai notifikasi saat berita pengangkatan Din Syamsuddin di Istana Kepresidenan tersiar. Beberapa kawan menanyakan, mengapa figur mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan MUI Pusat itu bisa mendapatkan kehormatan sebagai wakil presiden untuk urusan agama dan peradaban. Ada juga kawan yang mengirim link video dialog Din di salah satu televisi berita usai aksi massa mendemo Ahok akhir tahun lalu. Banyak yang bertanya, banyak yang tak menemui jawabannya.
Senin, siang, 23 Oktober 2017, Presiden Joko Widodo secara resmi mengangkat Prof. Dr. K.H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden dalam bidang dialog dan kerja sama antaragama serta peradaban. Pengangkatan Din disampaikan Presiden usai keduanya bertemu didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Istana Merdeka Jakarta.
“Hari ini saya telah mengangkat Prof. Dr. K.H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog dan kerjasama antaragama dan peradaban,” kata Presiden kepada para jurnalis.
Siaran pers resmi Biro Pers, Informasi, dan Media Istana menunjukkan Din bukanlah tanpa alasan, mengingat pengalaman Din di bidang agama dan perdamaian yang cukup mumpuni. Oleh sebab itu, Presiden yakin Din akan mampu mempromosikan kepada dunia internasional tentang kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang berdasar pada Pancasila.
“Beliau ini sudah menjalankan. Tidak mencari-cari lagi, sudah ada fondasi yang kuat seperti Ketua Konferensi Asia dan dunia untuk perdamaian dan agama. Sudah jelas dan konkret,” tutur Presiden.
Selain itu, Din juga memiliki tugas untuk berperan aktif mewakili Indonesia membantu penyelesaian masalah kemanusiaan yang terjadi di sejumlah negara. Hal tersebut dilakukan guna mewujudkan perdamaian dunia.
“Membangun sebuah kerukunan antaragama dan banyak sekali tugas-tugas kita yang diharapkan negara lain berkaitan dengan Afghanistan, Palestina, bisa masuk ke Rakhine State,” kata Presiden.
Mengemban tugas ini, Din akan berupaya sebaik mungkin sebagai bentuk pengabdian terhadap bangsa dan negara. “Saya berniat menjalankan ini sebagai pengabdian kepada bangsa dan negara, mendukung pemerintah kita. Dan insyaallah nanti dengan dukungan masyarakat Indonesia, semua pihak, saya bersama-sama dapat mengemban tugas ini,” ucap Din.
Presiden Jokowi bukan tokoh yang mudah ditebak pola pikirnya. Secara komunikasi verbal, meski tak sediam Presiden Megawati, ia juga tak seaktif Presiden SBY. Ditambah latar belakang kulturalnya sebagai orang Solo, Presiden Jokowi lebih suka berkomunikasi dengan cara non verbal. Bekerja dalam senyap, dan tak mencari panggung pujian (baca: bikin konferensi pers khusus) saat misi terlaksana. Tampaknya ia lebih suka kebijakan politiknya diterjemahkan dengan siapa yang diajak makan, berapa kali makan bersama, bagaimana pilihan acara yang dihadiri, dan bagaimana tindakannya lebih penting daripada statementnya.
Jadi, kenapa Presiden Jokowi memilih si A menduduki posisi ini, si B di posisi itu, si C di posisi lain dan si D tak juga mendapat posisi? Pernahkah ia merasa salah pilih saat mencukupkan si A dan kemudian orang itu ternyata berhasil mendapatkan jabatan lain yang tak salah prestisius? Saya kira tidak.
Setiap pilihan politik pasti disadari kalkulasi politik tertentu. Jadi, daripada ribut-ribut mempersoalkan keputusan kemarin, mari menunggu saja, ada perubahan apa (secara substansi maupun secara politik) pasca penunjukan Din sebagai Utusan Khusus Presiden dalam bidang dialog dan kerja sama antaragama serta peradaban.
Setiap orang boleh punya pilihan masa lalu. Tapi tak baik kita mengemudikan mobil dengan terus melihat spion di kiri kanan atau kaca pemantau kondisi belakang di atas dashboard. Jalanan di seberang kaca utama mobil itulah yang harus kita lihat.
Ke depan, bukan ke belakang…
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/10_2wGmr