Everything happens for a reason. Bukan kebetulan tampaknya, perjalanan saya ke Sumatera Utara kali ini sembari menggenggam Buku ‘Self Driving, Menjadi Driver atau Paseenger’ karya pakar komunikasi pemasaran, Rhenald Kasali.
Buku ini menegaskan perbedaan antara ‘driver mentality’ dan ‘passenger mentality’. Beberapa perbedaan disebutkan: Passenger hanya menumpang, tidak harus tahu arah jalan, boleh mengantuk boleh tertidur, tidak perlu merawat kendaraan, dan berada pada sebuah pilihan yang bebas dari bahaya.
Sebaliknya, menjadi driver harus mengemudikan kendaraan menuju titik tertentu, mutlak harus tahu jalan, dilarang mengantuk apalagi tertidur, harus mampu merawat kendaraan, dan ada pada sebuah pilihan mengekspos diri pada bahaya.
Baru membeli buku bersampul merah setebal 270 halaman di Gramedia Teras Kota Serpong akhir pekan lalu, terasa sekali implikasinya saat menyaksikan berbagai perubahan di provinsi berpenduduk terbanyak keempat di Indonesia ini. Dengan populasi lebih dari 13 juta jiwa, Sumatera Utara ada di bawah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Terakhir ke Sumatera Utara pada 2009 silam, saya masih mendarat dan pergi dari Bandara Polonia, di pusat kota Medan. Kali ini, berkesempatan menjejakkan kaki di Bandara Kualanamu, Deli Serdang, tampak kesan modern di sana. Hamparan karpet menjemput penumpang tak dapat dijumpai di banyak bandara di Indonesia.
Selain itu, Kualanamu tercatat sebagai satu dari sedikit bandara yang langsung menghubungkan penumpangnya dengan jalur kereta api menuju ibukota provinsi. Sejauh ini, baru ada Bandara Adi Sucipto Yogyakarta dan Stasiun Maguwoharjo yang telah bersinergi serupa. Sembari kita menunggu konektivitas bandara dan jalur kereta segera terealisasi di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, dan Adi Soemarmo, Solo. Tak lama lagi.
Dalam buku ‘Self Driving’ bab ‘Ini Soal Mandataris Kehidupan Saya’, Profesor Kasali menulis bagaimana ia melihat Bandara Kualanamu yang direncanakan sejak 1992 namun baru bisa dibangun karena peran seorang great driver, Mohammad Jusuf Kalla, pada 2005.
Kecelakaan Boeing 737-200 milik Mandala Airlines yang menewaskan 96 penumpang dan awak ditambah 44 penduduk setempat pada 5 September 2005 menyentak perhatian Wapres Jusuf Kalla. Pesawat tujuan Jakarta itu jatuh sekitar 100 meter dari Bandara Polonia, hanya beberapa menit setelah take off.
Segera setelah kejadian itu, ia meminta bandara dipindahkan ke Kualanamu. “Kalau tidak, korban akan terus bertambah. Apalagi terminalnya sudah terlalu sempat,” kata JK. Pemindahan Bandara Polonia di Medan ke Bandara Kualanamu di Deli Serdang sebenarnya sudah dirancang sejak 1992. Lahan untuk Bandara Kualanamu pun sudah disiapkan sejak 1995. Namun, entah karena apa, pembangunannya terhenti. Sebagai seorang driver, JK memimpin sendiri rapat-rapat pembangunan bandara di ruang VIP Bandara Polonia atau di kantornya di Jakarta.
Berbagai riak terkait pembebasan lahan, desain yang harus mengakomodasi gaya Batak, Jawa, dan Melayu, sampai penganggaran yang belum masuk APBN, bisa diselesaikan dengan lekas. Kini Kualanamu masuk jajaran bandara elit di Indonesia, tak kalah dengan Soekarno Hatta, Ngurah Rai, Juanda, maupun Sultan Hasanuddin.
Paten. Itulah istilah khas Sumatera Utara untuk menggambarkan sosok pribadi jempolan. Di Sumut, Presiden Jokowi juga menunjukkan layak digelari ‘paten’ dengan membuka jalan tol baru: Tol Medan-Binjai dan Kualanamu-Tebing Tinggi.
Ini tol pertama setelah 30 tahunan warga Sumatera Utara hanya memiliki jalan bebas hambatan yang panjangnya cuma 33 kilometer di ruas Belawan-Medan-Tanjungmorawa (Belmera), diresmikan pada akhir 1986.
Dua ruas tol baru membuat panjang jalan tol di Sumut menjadi 113 kilometer. Jalan tol ini sekaligus mempermudah akses menuju Bandara Kualanamu dan akan diperpanjang hingga kawasan wisata Dana Toba. “Jika semua tol tersambung ke Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi, kendaraan yang lewat tol bisa sampai 70 ribu per hari,” kata Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional II Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Paul Ames Halomoan.
Dalam perjalanan bersama sepuluh jurnalis dan Direktorat Pengolahan dan Penyediaan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika ini kami juga berjumpa dua sosok ‘paten’ lain terkait suksesnya pengelolaan Dana Desa. Parnu, dan Iwan Sastro, duo Kepala Desa dan Ketua Badan Usaha Milik Desa dari Desa Denai Lama, Kecamatan Pantai Labu, Deli Serdang.
Denai Lama merupakan desa terbaik di Deliserdang dan sempat masuk penilaian desa terbaik tingkat provinsi dan nasional. Tiga kali mendapatkan kucuran dana desa, terakhir pada 2017 sebesar Rp 1,2 miliar, Denai Lama ingin fokus menjadi desa wisata. “Kami sangat berterimakasih pada Presiden Jokowi yang menegaskan bahwa desa merupakan motor penggerak pembangunan,” kata Parnu, pria yang sebelumnya banyak malang-melintang di berbagai lembaga swadaya masyarakat internasional pasca bencana tsunami Aceh dan gempa Padang.
Sementara itu Iwan, juga lama berkecimpung di sebuah NGO di Papua, menggerakkan BUMDes bidang makanan ringan serta distribusi pupuk, dan juga melatih jiwa kesenian anak muda desa. “Kami terus semangat, meski sekarang memang belum mendapat gaji. Kami percaya, hasil tidak akan mengkhianati proses,” kata Iwan.
Menjadi pemimpin memang tidak bisa ‘business as usual’. Perlu gebrakan dan tanggungjawab, berani mengambil resiko, dan memastikan perannya sebagai driver, bukan sekadar passenger.
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/11_34Vkq