Lama tak mampir ke Sumatera Utara, malam ini saya mengetik tulisan yang tengah anda baca dari salah satu ujung Danau Toba. Dari sebuah hotel milik BUMN di Parapat, Kabupaten Simalungun.
Siang tadi, Puji Tuhan, Alhamdulilah, akhirnya Bombardier CRJ 1000 NextGen milik Garuda Indonesia mendaratkan kami -sekelompok jurnalis dari Jakarta bersama tim Direktorat Pengolahan dan Penyediaan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika- di Bandara Silangit, Tapanuli Utara. Mengapa begitu bersyukur? Karena penerbangan menuju wilayah berkabut di kawasan Toba itu sempat tertunda beberapa kali.
Mendapatkan rencana perjalanan akan terbang pukul 07.10, kemudian terdengar pengumuman bahwa Garuda menuju Silangit baru akan terbang pada 08.20. Sejam kemudian, rona kecewa kembali muncul saat terdengar informasi GA 0268 ini ditunda menjadi 09.25 WIB.
“Masalahnya ada pada cuaca, Pak,” kata petugas Garuda di Gate 13 Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta saat saya meminta kompensasi penundaan penerbangan sesuai Peraturan Menteri Nomor: PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Mereka beralasan karena problemnya ada pada keterbatasan jarak pandang di bandara destinasi -kesalahan bukan pada pihak maskapai- maka tidak ada pemberian snack atau kompensasi lain pada penumpang yang mengalami penundaan perjalanan.
Ok, tak mau berdebat, saya pun menuju sudut ‘co-working space’ di Terminal 3. Tapi, sesaat kemudian –mungkin ‘kebandelan’ saya membuahkan hasil- justru terdengar pengumuman bahwa penumpang GA 0268 diharap segera mengambil snack di depan Gate 13. Saat akan menjemput makanan ringan pengganjal perut itulah, staf Garuda memberi arahan lain, “Tidak jadi snack, Pak. Langsung boarding saja.” Sudah pukul 9 lewat, sih.
Penerbangan berjalan lancar. Sekitar 2,5 jam kemudian, kami mendarat mulus di Bandara Silangit, Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara. Bandara nan mungil, dengan landasan pacu yang kini diperpanjang jadi 2650 x 45 m sehingga dapat didarati pesawat sekelas Boeing 737 untuk semua seri.
Sejak bulan lalu, Bandar Udara Silangit resmi berstatus ‘Bandara Internasional’ meski baru tiga kali dalam sepekan ada penerbangan ke Singapura. Itu pun ‘charter flight’ atau pesawat sewa, kerja sama antara biro travel dengan Garuda Indonesia.
Seiring meningkatnya jumlah penumpang, diharapkan tahun depan penerbangan carteran ini bisa berubah menjadi penerbangan regular, termasuk rute lain ke Penang atau Kuala Lumpur.
Saat ini, penerbangan domestik dari dan ke Silangit dilayani oleh maskapai Garuda, Citilink, Sriwijaya Air, Wings Air dan menyusul bulan depan Batik Air. Tujuan penerbangan dalam negeri yakni menuju Jakarta Soekarno-Hatta, Halim Perdanakusuma, dan Kuala Namu.
Geliat penerbangan melalui Silangit tentu memicu pertumbuhan ekonomi, karena selain pertumbuhan tenaga kerja, juga memacu sektor hotel, restoran, dan transportasi. “Orang Batak dari Jakarta bisa mudik langsung ke sini dan tidak perlu melalui Medan lagi,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Bandara Silangit dibangun pada masa penjajahan Jepang. Pembangunan kembali bandara ini mulai dilakukan sejak tahun 1995. Lalu, pada 14 Desember 2012, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan secara resmi menyerahkan operasional pengelolaan Bandara Silangit kepada PT Angkasa Pura II (Persero). Bandara ini diharapkan mampu meningkatkan jumlah wisatawan ke Danau Toba, terutama wisatawan asing, karena tidak perlu lagi melalui Bandara Kualanamu yang berada di kawasan Deli Serdang.
Pemerintah serius mempromosikan sekaligus mengembangkan akses menuju Danau Toba, sebagai satu dari ‘10 Bali Baru’ alias tujuan wisata favorit di luar Pulau Dewata nan melegenda. Kawasan turisme yang semula ‘mati suri’ bak kena kutuk ini belakangan hidup kembali, seperti kepercayaan lokal, bahwa sesungguhnya Danau Toba adalah berkat bagi masyarakat Batak.
“Kami mendapat kabar bahwa, secara tentatif, wajah baru Bandara Silangit akan diresmikan Presiden Jokowi pada 24 atau 25 November nanti,” kata Yosapath Tambunan, Airport Operation, Services & Maintenance Junior Manager Bandar Udara Silangit.
Karyawan PT Angkasa Pura II yang sebelumnya bertugas di Bandara Soekarno Hatta itu menegaskan persiapan Bandara Silangit sudah mencapai 90 persen. “Tinggal hal-hal minor seperti penataan taman bandara,” ungkap Yosapath.
Bandara Silangit adalah bandara terdekat dengan kawasan Danau Toba dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam menuju Parapat, Kabupaten Simalungan, yang memiliki penginapan representatif. Sementara dari Silangit menuju Taman Sipinsur, Muara, dan Huta Ginjang –lokasi untuk melihat keindahan Toba dari ketinggian 1.550 meter di atas permukaan laut- hanya perlu waktu perjalanan 15-30 menit.
Saat ini, pemerintah bergiat agar Geopark Kaldera Toba (GKT) bisa masuk dalam Unesco Global Geopark (UGG). Kementerian Pariwisata pun agar infrastruktur Kawasan Toba banyak berubah, baik secara fisik mapun habit penduduknya.
“Untuk homestay misalnya, kami akan banyak melatih penduduk di Tomok, Samosir, agar mereka bisa membuat rumahnya jadi bersih dan nyaman jadi tempat menginap turis,” kata Faisal, Direktur Keuangan, Umum dan Komunikasi Publik Badan Pengelola Otoritas Danau Toba.
Sukses membangunkan Kawasan Strategis Nasional Danau Toba dan mengoptimalkan operasionalisasi kembali Bandara Silangit, Presiden Jokowi sering memaparkan kebijakannya ini dalam wawancara dengan berbagai media maupun pidato di daerah.
Saat meresmikan Bandar Udara Wiriadinata Tasikmalaya, Presiden Jokowi menyinggung langkah tegasnya membangkitkan Bandara Silangit yang lama tertidur. Presiden Jokowi ingat, saat itu ia memerintahkan maskapai penerbangan Garuda Indonesia untuk masuk ke Bandara Silangit.
“Lalu disampaikan ke saya, ‘Pak, nanti penumpangnya enggak ada. Nanti kita rugi’. Saya jawab, dicoba dulu,” ujar Jokowi.
“Begitu dicoba, dua minggu, satu bulan, penuh terus. Sekarang malah jadi rebutan semua maskapai mau ke sana. Ada Garuda, Sriwijaya. Kalau enggak salah lima, enam maskapai,” lanjut dia.
Di era sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setidaknya pernah tiga kali mendarat di Bandara Silangit. Sempat mendarat tak mulus, SBY kemudian memerintahkan agar bandara ini diperbaiki. Namun, belum ada kabar lebih lanjut dari instruksi yang diberikannya saat meresmikan Museum Batak itu. Pun, penerbangan regular juga tak kunjung dibuka hingga Maret 2016.
Niat serius membenani Danau Toba sebagai kawasan wisata unggulan –sempat disebut sebagai ‘Monaco-nya Asia’- ditunjukkan Presiden Jokowi saat menggelar rapat terbatas dengan mengundang Gubernur Sumatera Utara serta tujuh bupati yang memiliki wilayah di area Danau Toba: Dairi, Simalungun, Samosir, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Karo dan Tapanuli Utara.
Danau Toba memang luar biasa. Konon terbentuk pada 70 ribu tahun lalu melalui letusan besar super volcano, danau ini memiliki ukuran panjang 100 kilometer, lebar 30 kilometer, dan kedalaman hingga 505 meter (1.666 kaki). Di tengah danau terbesar di Asia Tenggara ini terdapat Pulau Samosir, yang besarnya hampir menyamai luas Singapura.
Indonesia beruntung punya Danau Toba, kekayaan alam nan luar biasa. Tapi, lebih dari itu, Indonesia juga bersyukur punya presiden seperti Jokowi. Berani mengambil keputusan, di tengah keraguan dan bayang-bayang besar kegagalan.
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/11_30mMH