Merindukan Banyak Bali, ‘Banyak Libur’ Lain di Indonesia

Selalu ada yang baru setiap berkunjung ke Bali, tidak pernah membosankan.

Sepanjang 2017, sampai akhir tahun ini, saya sudah tiga kali berkunjung ke Bali. Namun, selalu saja ada hal yang menyenangkan dari Bali.

Empat hari terakhir kemarin, saya berada di Nusa Dua, untuk sebuah rapat kantor. Tentu saja, di sela-sela rapat, kalau di Bali masak sih tak menyempatkan diri jalan ke luar? Nusa Dua dengan segala fasilitas tempat konvensinya yang ‘one stop place’ memang sangat menarik. Tapi, Bali tetap tak berwarna tanpa berkunjung ke sisi yang lebih happening, seperti Kuta, Legian, Seminyak, dan pantai-pantai di deretannya…

Ragil Kusuma, seorang profesional yang dalam hidupnya sebulan ada di Bali setidaknya selama sepekan, bercerita betapa menyenangkannya hidup di Pulau Dewata ini. Masyarakatnya sudah terbentuk sejak usia dini untuk menerapkan yang namanya ‘hospitality’ atau keramahan pada orang asing. Tingkat kriminalitas amat rendah, karena kesadaran agama maupun kulturalnya membuat penduduk Bali tak mau mencederai orang lain. Turis pun diusahakan nyaman, bukan dipalak karena ada nya prinsip, “Ah, kapan lagi mau daoat harga segitu? Belum tentu toh dia ke mari lagi…”

Singkatnya, kata kawan baik saya ini, “Seandainya saja di Indonesia ini ada lima saja daerah seperti Bali, kita akan luar biasa maju…”

Pemerintah tak tinggal diam dengan harapan ini. Kamis, 16 November kemarin, Presiden Jokowi memimpin Rapat Terbatas di Istana Kepresidenan Bogor tentang pentingnya pengembangan ’10 Bali Baru’.

Presiden Joko Widodo meminta jajaran terkait untuk bergerak cepat dalam menuntaskan program ini. “Sepuluh Bali baru ini harus cepat diselesaikan. Kementerian PU, Kementerian BPN, Kementerian Lingkungan Hidup, Bekraf, Kementerian Koperasi dan UKM, semuanya harus siap terintegrasi dalam sebuah program pengembangan yang sudah kita putuskan,” tegasnya.

Menurut Presiden, ada sebuah kesempatan besar yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Wisatawan asal Tiongkok misalnya, seperti data yang didapat Presiden, terdapat lonjakan jumlah wisatawan asal Tiongkok ke penjuru dunia, yakni sebesar 125 juta orang. Angka tersebut diperkirakan akan bertambah menjadi 180 juta dalam lima tahun ke depan.

“Itu baru dari satu negara. Dan dari sana itu hampir separuhnya masuknya ke Asia. Separuh dari 125 juta, artinya 62 juta itu masuk ke Asia. Dari angka tersebut, kalau kita memiliki destinasi 10 Bali baru yang kita garap dengan cepat dan baik, tentu saja dengan diferensiasi yang berbeda antara satu dengan lain, saya kira ini menjadi suatu yang menarik,” ucapnya.

Dalam mengembangkan sepuluh Bali baru itu, Kepala Negara meminta dilakukannya diferensiasi masing-masing destinasi wisata. Dengan diferensiasi itu, wisatawan tentu akan memiliki tujuan wisata yang lebih banyak lagi di Indonesia.

“Saya kira kita harus memiliki pembeda-pembeda itu sehingga kita harapkan dari 62 juta yang hanya dari satu negara itu separuh atau sepertiganya datang ke kita. Itu sudah 20 juta sehingga kalau target yang kita berikan kepada Menteri Pariwisata tahun 2019 angkanya adalah 20 juta itu juga bukan sesuatu yang amat sulit untuk kita capai,” tuturnya.

Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk dapat aktif bergerak dan saling mengintegrasikan diri antara satu kementerian dengan lainnya. Karena segala yang dilakukan dalam pengembangan kawasan tersebut membutuhkan peranan banyak kementerian.

“Saya berikan contoh, misalnya kita ingin mengembangkan Mandalika atau Danau Toba, ya lingkungannya harus disiapkan. Contoh kemarin seperti Mandalika, bukit-bukit yang ada di kanan-kiri itu gundul semuanya, maka itu segera tanam. Kemudian bangunan-bangunan adat jangan sampai malah dihilangkan dan diganti dengan arsitektur Spanyol dan mediterania misalnya,” kata Presiden.

Demikian halnya dengan yang ada di Danau Toba, rumah-rumah menarik yang berwarna-warni di sekitar danau tersebut menurutnya dapat dijadikan kelebihan tersendiri bagi pengembangan merek kawasan Danau Toba.

“Saya kira Bekraf atau Kementerian Pariwisata bisa mengintervensi,” sambungnya.

Selain itu, Kepala Negara juga mengingatkan agar pihaknya dapat segera menyiapkan segala fasilitas publik yang diperlukan di kawasan-kawasan wisata itu. Salah satunya ialah kawasan khusus bagi para pedagang dari masyarakat sekitar.

“Kalau tidak nanti kita akan keduluan oleh pedagang-pedagang kaki lima yang akan bertebaran di mana-mana. Kita siapkan satu tempat untuk mereka berjualan. Saya kira sangat baik kalau kita menyiapkan,” ucapnya.

Presiden Jokowi pun berpesan bahwa pemerintah memerlukan kecepatan dalam merespons perkembangan pariwisata global yang begitu cepat.

Apalagi saat ini tren pola konsumsi masyarakat mulai berubah. Komoditas yang berhubungan dengan rekreasi dan gaya hidup kini dianggap penting oleh masyarakat dibanding membeli barang.

“Sekarang ini kelihatannya ada pergeseran orang untuk tidak belanja barang, tapi senang wisata, senang mencoba restoran baru dan makanan-makanan khas. Ini sebuah kesempatan yang dapat kita manfaatkan,” tutupnya.

Ternyata, tidak semua penduduk Bali terbuka pada perubahan. Tapi, itu karena memang ada alasan-alasan khusus. Sebagai pengguna layanan transportasi online, perjalanan terbaru saya di Bali ini sekali menggunakan Go-Jek dan dua kali memakai ojek motor konvensional di seputaran Pantai Kuta.

Mengapa para pengojek konvensional itu tak beralih ke Go-Jek, Grab dan sejenisnya? “Ah, ongkosnya terlalu murah. Kalau buat pengguna di Jawa yang untuk pangsa lokal, bolehlah. Tapi ini kan buat turis. Masak jarak Kuta-Denpasar hanya bayar Rp 8 ribu,” kata Made, seorang pengojek yang saya gunakan jasanya di kawasan Raya Legian.

Seperti disampaikan Ketut Wiratama, coach dan trainer dari MotivatorBali.com, Bali sering diasosiakan sebagai ‘Banyak Libur’. Kalau mau melepas lelah setelah penat, jangan lupa, Indonesia masih punya Bali…

Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/11_2NToe

Leave a Reply

Your email address will not be published.