Hidden Gem: Fokuslah, di antara Jutaan Pilihan Informasi

Kadang kita dihadapkan pada pilihan informasi yang begitu berlimpah. Mari belajar fokus, memilah dan memilih. Perlu banyak gambar detail.

Tim berdelapan dari mahasiswa kelas TV Production Universitas Multimedia Nusantara menampilkan petualangan kuliner ke Tangerang dan Bogor. Aras Jatiatmaja, Julius Maringan, Lia Hutasoit, Fadhiil Djajasasmita, Tobias Edison, Yashinta Mulya, Eveline Marieta dan Dara Elisabeth mengetengahkan dua kota, masing-masing Podeng Kelapa Muda, Tutut, dan Laksa dari Tangerang, sementara di Bogor ada martabak, sate babi, dan bir kotjok.

Dalam tiga segmen yang ‘waktu kotor’-nya 30 menit, informasi yang mereka sajikan sungguh-sungguh ‘overwhelmed’. Terlalu banyak. Seharusnya fokus saja. Sehingga tenaga bisa dicurahkan optimal ke hal lain, baik secara konten maupun tampilan pascaproduksi, daripada memaksakan obyek terlalu banyak. Tenaga itu, misalnya, bisa untuk membuat bumper di awal program, atau memberi tampilan tulisan (Chargen) dan berbagai ‘coretan’ nakal di layar.

Ada  beberapa catatan teknis karya ini, misalnya opening segmen yang menarik sekali, terkait tantangan menghabiskan uang 100 ribu rupiah dalam empat jenis makanan. Menjadi menarik karena awal tantangan itu dilengkapi dengan musik dan grafis. Hanya saja, saat pamning kamera yang mengambil shot gedung terlalu cepat. Selain itu, panning ada aturannya juga sekitar 45 derajat sudah cukup.

Pujian juga disampaikan saat Lia sebagai host masuk ke dalam mobil, dan ada banyak ‘travel shot’. Ini bagus sekali karena di awal ia menyebut akan mengajak penonton ke wilayah Tangerang.

Shot gerobak kue podeng kurang wide dan kurang detail. Selain itu, untuk shot kuenya tidak ada interaksi dengan penjual. Memang Lia menjelaskan kue podeng itu, namun lebih baik ada interaksi untuk menjelaskan kue podeng itu, jadi tidak langsung closing penjual memberikan jajananya ke presenter. Begitulah di item Sate Ayam H. Ishak.

Setelah Lia menjelaskan tempat yang akan dituju, ia langsung masuk ke visual sate, tanpa ada visual penghubung antar keduanya, kecuali establish jalanan saja. Seharusnya pun, saat Lia menyebut, “Saat dibakar langsung ada tiga panggangan,” disertai visual sesuai dengan narasi itu.

Secara editing visual sate ayam, sangat membingungkan karena dari til down to up malah ke arah matahari jadi tidak jelas maksud visualnya.

Catatan lain, detail visual satenya sangat kurang. Harusnya bisa lebih detail lagi, ini lagi-lagi tidak ada interaksi dengan penjual, tiba-tiba saja Lia masuk ke dalam nobil untuk menjelaskan soal satenya.

Di item makan tutut di Kali Cisedane, si penjual sama sekali tidak terlihat wajahnya begitupun Lia di depan gerobak. Jadinya tidak ada visual yang bisa mengambarkan itu, Lalu Liua di pintu mobil mencoba makan, pada sekuence seperti ini harus banyak diperbaiki, baik dari sisi visual maupun konten yang terkesan terburu-buru dan ‘tidak bunyi’ sama sekalian. Dari situ, tiba-tiba Lia muncul dengan ide akan makan laksa, tidak ada visual penghubung sebelumnya.

Dan, di laksa pun demikian. Tidak ada shot penjual, dari gerobak, Lia langsung menjelaskan makanan laksa. Sosok penjual laksa baru terlihat jelang akhir bagian ini.

Dari Tangerang ke Bogor, tayangan antar dua kota tidak memiliki visual penghubung. Hanya ada pemberitahuan sebelumnya, presenter mengajak pemirsa ke Bogor, namun tidak ada ‘travel shot’ selama perjalanan menuju lokasi.

Di bagian martabak, visual shot tampak lebih baik dengan ada detail martabak. Namun sayang, dengan nama martabak arang seharusnya ada visual arang. Sayang, visual sekuence ini sangat minim sekali, lalu sudah berpindah lokasi lagi ke sate.

Masukan lain, coba next ambil host sedang berjalan dengan detail, tanpa melupakan establish shoot. Di bagian sate babi,  visualnya lumayan, namun tidak mengambarkan apa-apa karena sudah pindah lagi ke lokasi berikutnya, yakni bir kotjok.

Di bagian bir kotjok tampak lebih baik, karena ada interaksi presenter dengan penjual bit kotjok, tapi lagi-lagi kurang visual detail bir kotjok. Lia menjelaskan sedikit, lalu selesai.

Overall, secara keseluruhan konsep program ini sangat bagus.  Namun ada yang perlu diperbaiki, misalnya kenapa harus bahas makanan yang sama seperti satem harusnya dipilih saja salah satu dan dibuat lebih menarik. Dengan terlalu banyak yang ditampilkan, malah isi tayangan ini hanya terkesan seperti potongan-potongan visual biasa saja. Tidak perlu sebanyak itu pilihan makanannya, mending bikin tiga tapi bagus dan bunyi.

Secara visual tentu banyak yang harus diperbaiki, misal travel shot yang minim. Ada beberapa yang tidak menggambarkan si penjual makanan, detail makanan juga masih kurang, namun beberapa item juga ada yang ciamik –terlepas dengan kekurangannya. Sekali lagi, jangan lupakan establisedh shot yang menggambarkan lokasi kita syuting.

Catatan tim peliput

Aras Jatiatmaja sebagai juru kamera bersyukur, semua pengerjaan proyek ini berjalan lancar karena sudah ada ‘bonding’ dengan mayoritas anggoat kelompok ini. “Dengan bertambahnya anggota kelompok baru, saya pribadi merasa terbantu dan menjadi lebih enak kerjanya karena banyak jumlah anggota kelompok. Tema yang diambilpun menyenangkan,” jelasnya.

Dara Elisabeth, sebagai editor dan narrator ‘Ms Ngunyah’ mengaku banyak pengalaman didapat ketika mengikuti mata kuliah ‘TV Program Production’. “Awalnya saya mengira berkuliah pada hari Sabtu sangat merugikan saya, namun pola pikir saya mengenai kuliah di hari Sabtu akhirnya tidak seburuk apa yang saya pikir,” kenangnya.

Julius Frans sebagai campers dan editor mengungkapkan, pada waktu peliputan awalnya berjalan lancar, tetapi karena Bogor kota hujan jadi agak membuat repot. “Namun semuanya berjalan dengan baik dan sesuai ekspektasi,” ungkapnya.

Sang host Lia Lia Dameria Hutasoit menyatakan mereka bekerja dalam suasana cukup menyenangkan. “Thank’s God, kami mempunyai anggota baru yang kooperatif dan mau bekerja sama, mau membagi ide, mau membagi waktu dan tau jobdesk masing-masing,” ungkapnya. Kelompok ini mau mengerjakan tugas dengan serius, dilihat dari ketepatan mau berkumpul dan konsisten dalam liputan.

Director sekaligus editor Fadhiil Djajasasmita menyatakan, liputan kali ini tidak jauh berbeda dengan liputan UTS namun dengan penambahan anggota baru. “Peralatan kami memadai, ide kami cukup matang, walau akhirnya berubah dari ide awal namun bisa dikerjakan sesuai ekspektasi,” terangnya. Pengalaman yang cukup seru karena Bogor salah satu kota yang banyak kulinernya. Walau ada kendala cuaca semuanya bisa dihandle dengan bijak oleh teman-teman kelompok.

Adapun Tobias Edison Patogu, juga campers dan editor, menuturkan, liputan kali ini menjadi pengalaman menarik, ternyata banyak sekali referensi yang bisa dijadikan liputan. “Awalnya memang kami memiliki ide yang beda, karena satu dan lain hal kami merubah topik bahasan kami. Syukur bisa dikerjakan dengan oke dan sesuai dengan harapan,” jelasnya.

Editor lain, Eveline Marieta Wiharta mengaku belajar dari kesalahan yang sebelumnya yaitu ketika UTS mendapatkan kelompok yang kurang mengenakan untuk diajak kerjasama. “Kami bersyukur diterima dalam kelompok yang kemudian terbukti solid. Sekali lagi, komunikasi menjadi kunci penting,” ungkapnya.

Editor  Yashinta Mulya Sari menjelaskan, perencanaan liputan berawal dari ide pergi ke Bandung, Semarang, dan Pulau Seribu yang pada akhirnya tak terlaksana. Mereka akhirnya memilih untuk mengulik makanan yang ada di Bogor dan Tangerang. Jobdesk yang kami presentasikan pun juga berubah. “Saya dan Eveline yang tadinya jadi reporter on-cam akhirnya kami ganti dengan Lia. Kamera person yang tadi hanya Tobias dan Aras, pada akhirnya bertambah jumlahnya, berhubung masih ada kamera lain,” terangnya.

Untuk paska produksi, ia terkendala dengan proses editing. “Saya takut kurang bisa menyeimbangi hasil editan teman-teman yang lain, karena mereka sudah ‘master’, tapi beruntung hasil editan saya dikoreksi kembali oleh teman yang lain. Jadi saya lega setidaknya sudah dicek ulang,” ungkapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.