“Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, begitu harusnya kita bekerja
Dengan bekerja sama, yang susah jadi mudah, begitu harusnya kita bekerja
Rambate rata hayo, rambate rata hayo, mari kita bersatu kalau memang mau maju
Rambate rata hayo, rambate rata hayo, singsingkan lengan baju demi tujuan yang satu…”
Lagu ‘Rambate Rata Hayo’ yang kali pertama dipopulerkan Rhoma Irama dalam film ‘Melodi Cinta’ bersama Rita Sugiarto itu menyemarakkan Konser Bhineka Tunggal Ika di Studio 5 Indosiar, Daan Mogot, Jakarta Barat, Senin, 5 Maret 2018 kemarin. Saya datang ke live dangdutan televisi swasta dalam naungan grup Emtek itu untuk menemani Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Eko Sulistyo, atasan saya di Kantor Staf Presiden.
Sesungguhnya, Rambate Rata Raya adalah sebuah sistem budaya gotong royong yang turun temurun dilakukan masyarakat Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. ‘Rambate Rata Raya berarti kerja keras bersama untuk menuju masyarakat adil dan makmur, kini dijadikan motto kabupaten ini.
Raja dangdut Rhoma Irama, kini 71 tahun, benar-benar menunjukkan ia tak lekang dimakan usia. Bersama (Forsa Fans of Rhoma Irama dan Soneta Group) yang setia mendatangi penampilan Pak Haji, Rhoma tampil dengan beberapa lagu legendarisnya, menunjukkan dangdut terus mendapatkan tempat di tengah perubahan zaman.
Pentas live Dangdut Vaganza dan Liga Dangdut Indonesia Indosiar hampir tiap hari menunjukkan betapa masih kuatnya kekuatan musik genre ini. Dalam pengundian grup 34 pedangdut pilihan dari 34 provinsi kemarin pun, nama-nama besar didatangkan dalam pentas dari pukul 19.00 hingga lewat tengah malam.
Selain Rhoma Irama dan Rita Sugiarto, ada pula pengisi acara maupun ‘Dewan Dangdut’ antara lain Zaskia Gothik, Dewi Persik, Iyeth Bustami, Nazarudin, Soimah, dan Samuel Wattimena. Pembawa acaranya diisi trio Irvan Hakim, Ramzi, dan Arie Kriting.
Dari kalangan audiens, selain Eko Sulistyo dari Kantor Staf Presiden, ada legislator DPR Akbar Faizal, Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit dan beberapa pejabat daerah yang mendukung jagoan kesayangannya.
Baru-baru ini, Eko Sulistyo menuangkan tulisan berjudul ‘Via Vallen, Dangdut dan Politik’ yang dimuat di Koran Sindo, 13 Februari 2017. Dalam tulisan itu, Eko mengutip pernyataan sosiolog musik dari Universitas Pittsburgh Amerika Serikat, Prof. Andrew N. Weintraub, yang menyatakan musik dangdut adalah asli budaya Indonesia bukan dari India atau Malaysia.
Penulis buku ‘Dangdut, Musik, Identitas dan Budaya Indonesia’ ini menyebut karakter dangdut adalah khas Indonesia karena tema lagu-lagunya dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Tentu ada pengaruh dari India atau Timur Tengah atau darimana saja, tetapi dangdut dikembangkan oleh orang lokal sampai ke pelosok Indonesia (BBC Indonesia, 10 Mei 2013).
Di berbagai wilayah dangdut bisa diterima dan menjadi pemersatu bangsa, lepas dari berbagai latar belakang sosial-budaya sehingga lahirlah Dangdut Minang, Dangdut Banjar, Dangdut Batak, Dangdut Koplo, Dangdut Remix, Popdut sampai Rockdut. Bahkan di lingkungan generasi milineal sudah dikenal ‘Salam Dangdut MTV’ sejak 2004. Fenomena Via Vallen seolah mengkonfirmasi pernyataan Prof. Weintraub dan ungkapan Project Pop, bahwa ‘dangdut is the music of my country.’
Dangdut menunjukkan kekuatan tersembunyi di Indonesia, termasuk dipakai dalam kekuatan politik. Bayangkanlah betapa jutaan pengikut Via Vallen dan Nella Kharisma bisa menjadi satu kapital yang kuat saat mereka dirangkul Calon Gubernur Jawa Timur Saifullah ‘Gus Ipul’ Yusuf.
Menjadi kampanye positif saat lagu ‘Sedulur Kabeh’ yang dipopulerkan pasangan Gus Ipul-Puti dengan endorser duo pedangdut koplo itu akan terus dilagukan sepanjang masa kampanye, menunjukkan bahwa dangdut adalah musik khas Indonesia, membawa kita bekerja keras ala ‘Rambate Rata Hayo’ nya Rhoma Irama dan terus bersaudara semua, siapapun pemenang dalam Pilkada 2018 maupun Pilpres 2019.
Salam dangdut is the music of my country, my country…
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/3_2RfSn