“Henk, Bapak ingin menempatkan Henk di Kotapraja Jakarta. Bapak ingin Henk mewakili Bapak, Bapak ingin kota ini jadi cantik. Cuma Bapak belum tahu sebagai apa dan bagaimana. Nanti Bapak pikir-pikir dulu,” itulah untaian kalimat dari Presiden Soekarno pada 1959, yang kemudian dipenuhinya sekitar lima tahun kemudian saat Henk Ngantung menjadi Gubernur DKI.
Saat itu, Si Bung menulis kattebeletje alias nota khusus bagi Henk di tengah mendengar pandangan anggota Dewan Nasional. “Sdr Henk Ngantung, ada lima kebutuhan absolut bagi Rakjat: Perut, Pakaian, Perumahan, Pergaulan, dan Pengetahuan,” kata Bung Karno.
Sebagai pengurus Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang memegang porsisi strategis Wakil Sekretaris Umum I serta Ketua Lembaga Seni Rupa Indonesia (Lesrupa), Henk Ngantung pun pernah menjadi anggota parlemen dari Fraksi PKI. Saat itu, ada kebijakan internal bahwa yang dicalonkan partai tidak harus menjadi anggota partai yang mencalonkannya. Hal yang sama terjadi pada Affandi, Basuki Resobowo, Hendra, A.S Dharta, dan Hr. Bandaharo.
Sebagai Wakil Gubernur DKI di era pelaksanaan Asian Games 1962, Henk Ngantung berperan besar dengan langkah-langkah taktisnya. Misalnya menyelesaikan proyek by pass yang sempat terkendala pemindahan warga di lokasi itu. Hal lain, sesuai amanah Bung Karno, yakni menyediakan rumah murah nan sederhana bagi masyarakat, agar kebutuhan papan yang sangat urgent dapat terpenuhi.
Ayah empat ini dikenal tegas bisa memisahkan politik dan jabatan, termasuk saat menghadapi tekanan partai pengusungnya. Saat datang orang-orang dari Fraksi PKI yang menegurnya karena tak mau membubarkan HMI dan mengikuti kebijakan garis partai atas gejolak sosial akibat inflasi dan demonstrasi, Henk dengan lantang berseru, “Saya bukan gubernurnya PKI! Saya Gubernur Jakarta!”
Itulah Henk Ngantung, yang juga terkenal karena meminta para komandan Satpol PP menyamar menjadi gelandangan, saat menghadapi masalah Jakarta nan kumuh jelang pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) II pada 1965. Henk juga menjadi inisiator gerakan kerja bakti massal setiap hari Minggu, yang juga awalnya dilakukan menjelang peringatan Dasawarsa KAA. Seruan kerja bakti ini juga untuk memupuk kepedulian lingkungan yang lebih sehat dan bersih.
Buku ringan ini amat enak dibaca. Dilengkapi berbagai kumpulan guntingan koran yang memberi konteks peristiwa saat itu. Kalaupun ada masukan, sebaiknya kliping koran itu bisa dimuat lebih besar, sehingga pembaca pun serasa bisa menikmati versi aslinya tanpa harus mengerutkan mata. Masukan lain, tentu akan lebih bagus jika diperkaya foto berkualitas yang lebih sering, misalnya menggambarkan rumah Henk Ngantung di Cawang yang menjadi lebih baik di era Gubernur Jokowi, atau memotret titik-titik arsitektur kota warisan sang gubernur di era kekinian.
Selamat Obed Bima untuk bukunya. Bagi para penyuka literasi dan sejarah, selamat mencari dan membaca buku ini. Pesannya, kita terus berharap ibukota, alias ‘Kotapraja Jakarta’ ada di tangan yang tepat. Ada di tangan ahli tata kota, dan bukan tata kata semata.
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/3_4XVau