Setelah setahun berlalu, kemarin saya kembali injakkan kaki di Tanah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Suasananya nyaman. Sambutan untuk turis menyapa sejak di Bandara Lombok Internasional, Praya, Lombok Tengah. Memang, Pulau Lombok menawarkan diri sebagai tempat wisata bagi para turis asing, yang bosan dengan keramaian Bali.
Kaya akan matahari, tapi tak terlalu menyengat, menjadi keunggulan Nusa Tenggara Barat. Suasananya tak seramai Bali, itu ‘jualan’ lainnya. Warga pun ramah, saling peduli.
“Coba kamu bayangkan perjalanan kita ke bandara dari kota Mataram ini, Jo. Kalau di Jakarta kiri kanan bangunan gedung tinggi. Di sini, kiri-kanan sawah nan hijau,” kata seorang pejabat yang semobil dengan saya menuju Bandara Lombok Praya jelang kembali ke Jakarta siang tadi.
Memang, sejak Bandara Selaparang di tengah kota ditutup pada 2011 dan dialihkan ke Lombok Tengah, perjalanan dari ibukota provinsi menuju bandara memakan waktu sekitar sejam. Tapi, perjalanan itu terasa nikmat dengan pemandangan hijau di sekeliling kita.
Kehidupan malam pun asyik di Mataram. Semalam saya habiskan waktu di Kafe de La Sirra, milik pengacara kenamaan Sirra Prayuna. Suasananya tak kalah dengan kafe-kafe di kota besar lain di Indonesia.
Perjalanan ke Mataram amat menyenangkan. Meski hanya dua malam, menghadiri sebuah seminar yang menegaskan perlindungan bagi hak penyandang disabilitas, Lombok selalu memberi kenangan istimewa.
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/4_4Aj0O