Tiga puluh tahun sudah orang Inggris dahaga prestasi jadi juara dalam turnamen akbar sepakbola antar bangsa. Olahraga yang mereka dengang-dengungkan berasal dari tanah Britania tapi tak pernah mereka menangkan kecuali pada Piala Dunia 1966, itupun saat berkesempatan jadi tuan rumah.
Maka, saat Inggris memenangkan kontestasi penyelenggaraan Piala Eropa 1996 –mengalahkan empat kandidat lain: Yunani, Austria, Belanda, dan Portugal- rakyat negeri Ratu Elizabeth itu pun amat bersuka. Tagline besar segera dipasang di turnamen antar negara Eropa empat tah
unan itu: Football Comes Home.
Ya, sepakbola telah pulang ke rumahnya!
Memang asal-usul sepakbola berasal dari mana masih bisa jadi bahan perdebatan. FIFA, sebagai badan sepak bola dunia, secara resmi menyatakan bahwa sepak bola lahir dari daratan China yaitu berawal dari permainan masyarakat Tiongkok abad ke-2 sampai dengan ke-3 Sebelum Masehi yang disebut dengan permainan ‘tsu chu’. Pada masa Dinasti Han itu, masyarakat menggiring bola kulit dengan menendangnya ke jaring kecil. Permainan serupa juga dimainkan di Jepang dengan sebutan ‘Kemari’. Di Italia, permainan menendang dan membawa bola juga digemari terutama mulai abad ke-16.
Sementara itu, salah satu dokumen militer menyebutkan, pada tahun 206 SM, pada masa pemerintahan Dinasti Tsin dan Han, masyarakat Cina telah memainkan bola yang disebut ‘tsu chu’. Tsu artinya ‘menerjang bola dengan kaki’ sedangkan chu, berarti ‘bola dari kulit dan ada isinya’.
Sisi sejarah yang lain adalah di Yunani Purba juga mengenal sebuah permainan yang disebut episcuro, permainan yang juga menggunakan bola. Bukti sejarah ini tergambar pada relief-relief museum yang melukiskan anak muda memegang bola dan memainkannya dengan pahanya.
Tapi, di Inggrislah sepak bola modern mulai berkembang dengan menetapkan peraturan-peraturan dasar dan menjadi sangat digemari oleh banyak kalangan. Di beberapa kompetisi, permainan ini menimbulkan banyak kekerasan selama pertandingan sehingga akhirnya Raja Edward III melarang olahraga ini dimainkan pada tahun 1365. Raja James I dari Skotlandia juga mendukung larangan untuk memainkan sepak bola.
Faktanya, klub sepakbola pertama yang berdiri di dunia ada di Inggris, yakni Sheffield Football Club pada 1857. Klub ini adalah asosiasi sekolah yang menekuni permainan sepak bola. Enam tahun kemudian, pada 1863, berdiri asosiasi sepak bola Inggris, Football Association (FA), yang mengeluarkan peraturan permainan sepak bola, sehingga sepak bola menjadi lebih teratur, terorganisir, dan enak untuk dinikmati penonton.
Selanjutnya tahun 1886 terbentuk lagi badan yang mengeluarkan peraturan sepak bola modern sedunia, yaitu International Football Association Board (IFAB). IFAB dibentuk di Manchester, oleh FA Inggris ditambah Scottish Football Association, Football Association of Wales, dan Irish Football Association.
Menyambut Piala Eropa 1996, asa orang Inggris begitu membumbung untuk kembali jadi kampiun, persis seperti 30 tahun sebelumnya. The Lightning Seeds, grup rock alternatif asal Liverpool pun berteriak-teriak dalam lagu yang khusus diciptakan untuk turnamen itu, “Three lions on a shirt, Jules Rimet still gleaming, thirty years of hurt, never stopped me dreaming…”
Lalu, bagaimanakah harapan dan mimpi yang begitu mengangkasa itu direalisasikan oleh anak asuh Terry Venables dalam Piala Eropa 1996?
Diikuti 16 tim, tim tuan rumah diletakkan di grup A. Tak mengecewakan, Alan Shearer dan kawan-kawan sukses sebagai pemuncak grup. Sekali seri 1-1 lawan Swiss, serta dua kali menang, masing-masing 2-0 atas Skotlandia dan 4-1 atas tim Oranye Belanda. Pasukan ‘Tiga Singa’ lolos ke perempatfinal, ditunggu Spanyol sebagai runner-up grup B.
Dalam partai delapan besar di Stadion Wembley ini, kedua tim bermain tanpa gol hingga babak perpanjangan waktu. Pertarungan berlanjut dalam adu penalti, dan tumben-tumbennya Inggris menang dalam babak ini. Sebuah kemenangan yang akan diingat dalam adu penalti kejuaraan besar, mengingat Inggris lekat sebagai tim pecundang dalam tos-tosan, baik saat Piala Dunia 1990 di Italia, maupun pada turnamen-turnamen besar lain sesusah Piala Eropa 1996.
Alan Shearer, David Platt, Paul Gascoigne, dan Stuart Pearce menjadi empat algojo Inggris yang sukses menendang penalti. Cukup empat penendang, karena dua eksekutor Spanyol –Fernandi Hierro di kesempatan pertama dan Miguel Nadal di giliran keempat- gagal merobek gawan David Seaman. Di pihak Inggris, Stuart Pearce dapat bernafas lega. Enam tahun ia dihantui rasa bersalah, sejak bersama Chris Waddle gagal menjebol gawang Jerman dalam adu penalti semifinal Piala Dunia 1990.
Sialnya, Jerman juga yang jadi lawan Inggris pada semifinal Piala Eropa di kandang mereka. Laga normal hingga extra time berakhir 1-1 setelah gol cepat Alan Shearer di menit ketiga disamakan Stefan Kuntz 13 menit kemudian.
Di babak adu penalti, lima penendang Inggris sukses menjalankan tugas. Formasinya sama dengan perempatfinal: Alan Shearer, David Platt, Paul Gascoigne, dan Stuart Pearce, ditambah Teddy Sheringham sebagai algojo terakhir.
Tapi, lima penendang Jerman juga sama gemilangnya: Thomas Hassler, Thomas Strunz, Stefan Reuter, Christian Ziege, dan Stefan Kuntz.
Harus dilakukan penendang tambahan. Andreas Moeller berhasil memperdaya Dave Seaman. Sementara penendang keenam Inggris diambil oleh pemain nomor punggung enam, Gareth Southgate. Tendangannya lemah, agak ke kanan arah penjaga gawang Andreas Koepke yang dengan mudah mementahkan tendangan itu. Blaar… buyarlah mimpi tim ‘Three Lions’ menjadi juara di kampungnya.
Southgate tentu jadi target kekecewaan masyarakat Inggris yang urung mengulang prestasi besar 1966. Dikabarkan, Southgate –saat itu berusia 26 tahun- mengalami depresi berat juga, meski ternyata tak semua orang mencercanya. Ada juga warga negara Inggris yang bersimpati dengan mengirimkan kartu pos tanda turut memahami perasaannya.
Saking sebelnya pada sang pembawa sial, The Business, sebuah band punk rock asal London Selatan sampai menciptakan lagu berjudul ‘Southgate (Euro 1996)’. Liriknya antara lain berbunyi
“Gareth Southgate stood on the spot
Couldn’t believe the chance he got
He’d be a hero with one toe puntBut sent it at the keeper oh what a cunt
Southgate’s going home, he’s going
Southgate’s going home, he’s going
Southgate’s going home, he’s going –
Oh No, he’s missed the bus You Cunt..”
Butuh waktu lama bagi Southgate untuk memulihkan kepercayaan dirinya. Sampai kemudian, pemain belakang Aston Villa ini muncul dalam iklan Pizza Hut bersama Stuart Pearce dan Chris Waddle, dua penendang penalti yang gagal menunaikan tugasnya pada semifinal Piala Dunia 1990. Bedanya, di iklan ini Pearce dan Waddle sudah bisa ketawa-tawa, sementara Southgate awalnya menutupi wajah dengan penutup kepala dari kertas dengan menyisakan dua lubang mata.
Southgate bisa bangkit dari kegagalannya menendang penalty ke gawang Koepke. Total ia meraih 57 kesempatan bermain untuk timnas, dengan mencetak dia gol. Namanya harum sebagai pemain Aston Villa yang paling banyak memperkuat timnas Inggris.
Sebagai manajer, Southgate hanya menangani satu klub: Middlesbrough. Sempat membawa The Boro ke papan tengah Liga Primer sampai kemudian terdegrasi di akhir musim 2008/2009. Lama setelah dipecat manajemen The Boro pada Oktober 2009, pada 2013, pria dengan sapaan akrab ‘Nord’ ini terpilih sebagai manajer timnas Inggris U-21 selama tiga tahun.
27 September 2016 menjadi hari bersejarah baginya, saat FA menunjuk
Southgate sebagai manajer timnas senior menggantikan Sam Allardyce yang terjebak skandal kejujuran akibat ulah koran ‘Daily Telegraph’.
Sejauh ini, Southgate sudah membawa timnas senior Inggris 18 kali main dengan rekor 10 kali menang, 6 seri dan 2 kalah. Di kualifikasi Piala Dunia Grup F Eropa, Inggris jadi juara grup dengan nilai 26 dari 10 kali pertandingan. Tanpa terkalahkan. Dua kali Inggris keok di bawah arahan Southgate masing-masing 0-1 dalam ujicoba lawan Jerman Maret 2017 di Dortmund, serta 2-3 pada pertandingan persahabatan di Paris, Juni 2013.
Piala Dunia Rusia 2018 menjadi kejuaraan skala besar pertama bagi seorang Gareth Southgate. Lelaki kelahiran 3 September 1970 ini mencoba membawa Harry Kane dan kawan-kawan menjaga rekor tak terkalahkan di pertandingan resmi, setelah terakhir dipermalukan Islandia pada perempatfinal Piala Eropa dua tahun silam.
Gareth ‘Nord’ Southgare, pemain yang pernah membuat marah seluruh publik Britania karena sodokan lemah penaltinya membuyarkan mimpi juara itu, berkesempatan menebus kesalahannya 22 tahun silam.
Mendengarkan lagu ‘The Business’ yang mengejeknya, Southgate tentu lebih ingin dianggap sebagai ‘the hero’ daripada ‘what a cunt’, kata tak senonoh yang menunjukkan betapa bencinya publik pada dirinya.
The Sidji Hotel, Pekalongan, 18 Juni 2018 • Agustinus ‘Jojo’ Raharjo, penggemar sepakbola, saat ini bekerja sebagai Tenaga Ahli Komunikasi Politik dan Informasi Kantor Staf Presiden
Seperti ditayangkan di http://beritajatim.com/olahraga/331422/transformasi_mental_gareth_southgate:_from_zero_to_hero?.html