Persoalan tiket pesawat adalah buah simalakama. Sebagian masyarakat menjerit karena merasa ongkos biaya penerbangan terlalu mahal, di sisi lain industri penerbangan juga dijalankan tidak dengan biaya murah. Karena itu, kalau beberapa tahun silam ada lomba memberikan tiket pesawat murah, itu tak ubahnya promosi demi memenangkan ketatnya persaingan.
Kini, harga mengikuti biaya keekonomian.

Menjadi tantangan tersendiri saat mendapat tugas memoderatori Kelompok Diskusi Terfokus (bahasa Indonesia resmi dari FGD) membahas isu ini. Juga isu baik buruknya maskapai luar negeri membuka layanan penerbangan di dalam negeri.
Moderator harus netral. Tidak mengarahkan sesuai pesanan. Tidak juga harus menyenangkan semua pihak. Dari diskusi yang sifatnya tertutup ini, baru kemudian disusun, bagaimana sebaiknya strategi komunikasi dikembangkan. Bagaimana narasi ke publik ditata dengan cermat. Dengan data. Dengan argumen yang pas. Tidak grusa-grusu.

Menarik mencermati Tajuk Rencana Harian Kompas terkait hal ini, “Pemerintah sebagai regulator diharapkan pada tantangan untuk menemukan keseimbangan, antara kepentingan maskapai dan kepentingan pengguna jasa. Di sini juga muncul pandangan untuk mengaudit komponen biaya penerbangan sehingga bisa diperoleh harga tiket yang lebih tepat dengan kemampuan masyarakat pengguna.
Tingginya harga tiket pesawat, menurut pengamat penerbangan Chappy Hakim, hanya puncak gunung es dari berbagai masalah penerbangan nasional. Ide mengundang maskapai asing bertentangan dengan prinsip kabotase, di mana masakapai asing dilarang melayani rute domestik. Mengingat penerbangan menjadi salah satu tulang punggung transportasi nasional, kita mendorong ditemukannya solusi yang adil, baik bagi maskapai maupun masyarakat.”

Majulah dunia penerbangan Indonesia. Semua orang pasti ingin merasakan terbang rutin. Tapi juga tak asal melayang, melainkan dengan pastinya jaminan keselamatan sampai di tujuan.
Karena kita tak mau mendengar celetukan dari tukang becak yang mengayuh di belakang jok tempat duduk kita,
“Wong bayar limang ewu njaluk slamet…”
