Ramai beredar sebuah akun di media sosial, tentang bagaimana gaya hidup ‘Hamba Tuhan’. Bagaimana tampilan ‘outfit’-nya, berapa harga jam tangannya, tas jinjingnya, atau polo shirt nan tak murah.
Tapi, apakah fenomena itu bisa dipukul rata? Pernahkah para pengamat media sosial itu berkunjung menemui para hamba Tuhan di pedesaan?
Akhir pekan kemarin bermalam di sebuah desa di Malang Selatan. Perlu sekitar 3 jam dari pusat kota Malang untuk mencapai Donomulyo, dalam suhu yang sejuk, jauh dari hiruk-pikuk politik ibu kota. Melewati Suwaru –termasuk 1 dari 269 desa di Kabupaten Malang yang menggelar Pilkades Serentak- melintasi Wonorejo-Bantur, barulah sampai di Donomulyo. Dari sini, Gunung Semeru, Kawi, dan Arjuna terlihat menyembul.
Cobalah sering jalan-jalan ke pelosok. Menemui hamba Tuhan yang begitu bersahaja. Menyatu dengan rakyat dan aparat (berapa banyak gereja yang kemarin memasang spanduk ucapan Hari Bhayangkara pada Polri?), dan bahkan masih mengisi BBM jenis premium untuk kendaraan dinasnya.
Diberkatilah para pendeta, romo, guru agama, kiai, biksu, dan para pemuka agama lain yang melayani di kesunyian. Beberapa di antaranya terpisah dari anak isteri, atau memang tidak ada keluarga selain fokus pengabdian pada Allah dan masyarakat.
Tuhan menyertai setiap aktivitas keseharian nan inspiratif para hamba Tuhan di dusun-dusun, gunung dan pantai nun jauh dari keramaian….