Apa kau tahu persamaan antara orang tidak punya uang dengan orang yang memiliki terlalu banyak uang?
“Hidup tidak menyenangkan bagi mereka. Jika kau memiliki terlalu banyak uang, apa pun yang kau beli, makan, atau minum, akan membosankan pada akhirnya,” kata Oh-Il Nam, kakek tua perancang Squid Game pada Seong Gi-hun di akhir hidupnya.
Oh-Il Nam merupakan pemain nomor 001, sementara Gi-hun menyandang nomor 456 dan menjadi pemenang tunggal dari serial permainan berhadiah 45,6 miliar won, yang kalau dikurskan setara lebih dari 460 miliar rupiah. Gi-hun diperankan dengan ciamik oleh Lee Jung-jae, artis dan model Korea berusia 49 tahun.
Tentu saja, saya tidak bermaksud membocorkan konten atau spoiler bagi mereka yang belum nonton Squid Game, diambil dari nama permainan ‘cumi-cumi’ ala dolanan anak Korea yang dimainkan di babak terakhir ketangkasan survival ini.
Bukan maksud saya membuat sinopsis atau menulis detail isi film. Kalau mau lihat rincian cerita per episodenya, sembilan episode dari Sesi Satu film Neflix ini silakan aja baca https://id.wikipedia.org/wiki/Squid_Game
Juga bukan untuk membahas betapa demam Squid Game begitu besar masuk ke Indonesia. Boneka ‘Lampu Merah Lampu Hijau’ populer dipasang menarik perhatian di Jalan Tunjungan yang kemudian disita Satpol Pamong Praja lalu dipindah ke rumah Wakil Wali Kota Surabaya.
Tulisan ini mengajak kita membahas nilai moral dari Sesi Pertama Squid Game. Terlepas serial ini begitu sarat adegan kekerasan, ungkapan kasar, adegan bunuh diri, darah di mana-mana dan sesekali seks.
Hidup yang keras dan putus asa mendera manusia. Fenomena itu terjadi tak hanya di Indonesia, tapi juga di kota-kota di Korea Selatan. Begitu banyak orang yang ‘desperate’ akibat utang, gagal dalam rumah tangga, tak punya pekerjaan, kalah judi dan lain-lain.
Kondisi serba buruk ini membuat mereka terjebak pada ‘salesman’ Squid Game, yang mengajarkan begitu mudahnya mencari uang lewat permainan lempar kertas di ruang-ruang tunggu kereta.
Bak kerbau dicocok hidung, benar-benar hidungnya dibius dalam perjalanan, mereka menurut dibawa ke sebuah pulau untuk menjalani rangkaian permainan. Dari ‘Lampu Merah Lampu Hijau’, berjalan dan berhenti saat ada kode, mencetak bentuk dari dalgona atau gulali, tarik tambah berisiko jatuh ke jurang tinggi, bermain gundu, menyeberangi jembatan dengan panel kaca, serta pertandingan terakhir: Squid Game.
Setiap babak permainan yang mengorbankan nyawa para pesertanya sebagai seleksi pengurangan pemain ini bisa diilustrasikan sebagai kerasnya hidup ini hari demi hari.
Kadang kita tak sadar, pekerjaan yang kita pilih bak ujian menyeberang kaca. Kita tak tahu bahwa ternyata pilihan profesi atau kantor itu ternyata adalah kaca yang tipis. Mudah pecah, membuat kita terperosok masalah hukum, membuat rumah tangga hancur, atau parahnya membuat nyawa kita terhilang.
Hikmah lain, salah memilh tim, bisa jadi petaka. Jangan jadi arogan, karena bisa jadi anda yang lebih dulu tereliminasi. Jangan terburu memilih jadi nomor satu atau nomor akhir, lakukan semua dengan tenang. Keberuntungan akan datang dalam konsistensi, kerendahan hati, tidak tamak, dan selalu mengamati serta mencermati dengan kalem.
Pada saat itulah, kita percaya, terjadi “Good rain knows the best time to fall,” dalam hidup kita. Seperti kata seorang VIP di episode ke-9 Sesi I berjudul ‘One Lucky Day’.
Kadang, keberhasilan hidup tidak selalu menjadi milik orang pintar lulusan kampus hebat seperti Cho Sang-woo, pemain bertubuh kuat seperti Jang Deok-su, atau mungkin manusia religius macam Kim Si-hyun, seorang pendeta yang menemukan kembali imannya dalam pertandingan.
Sudah tersurat, kemenangan menjadi milik Gi-hun, representasi pelakon hidup yang tak menyerah meski kisah personalnya amat suram. Punya welas asih dan tak dendam meski uang jutaan pernah dicopet Kang Sae-byok, yang kemudian jadi sahabatnya yang kemudian memilih bunuh diri.
Konsistensi dan berjuang sampai akhir adalah ibu dari kesuksesan, jadi pesan penutup sembilan episode ini.
Kamsahamnida, Squid Game.