Humba Dreams: Mimpi Sumba Keluar dari Keterbatasan

Beberapa film Indonesia mengambil latar Tanah Sumba. Pesona alam jadi daya tarik kuat.

Masih tentang Sumba. Khusus mengenang perjalanan ke ‘Pulau Para Marapu’ ini, saya menonton ‘Humba Dreams’, film karya Riri Riza dan Mira Lesmana yang diputar eksklusif di jaringan Netflix. Humba Dreams yang dibuat pada 2017 banyak mengambil spot di Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, dan wilayah-wilayah lain di sekitarnya.

Bukan kali pertama sebuah film bersetting Sumba.

Duet Riri-Mira pada 2014 memproduksi karya ‘Pendekar Tongkat Emas’ bertabur bintang antara lain Reza Rahadian, Nicholas Saputra, Tara Basro, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Eva Celia, Darius Sinathrya, dan Prisia Nasution. Syuting selama tiga bulan juga banyak mengambil tempat di Sumba Timur seperti Puru Kambera, Teluk Tarimbang, hingga Tebing Watuparunu.

Pada 2017, Ernest Prakasa menyutradarai ‘Susah Sinyal’ dengan pemeran Ernest sendiri, Adinia Wirasti, Niniel L Karim, Asri Welas, Giselle-Gading, Andien dan bintang-bintang stand up comedy. Lebih dari 100 kru produksi pun diboyong ke Sumba Timur dan syuting di Bukit Wairinding, Bukit Tenau, Air Terjun Tanggedu, serta masih banyak spot lagi.

Juga 2017, Mouly Surya menggarap ‘Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak’ antara lain mengambil lokasi untuk Marsha Timothy dkk di Bukit Tanarara, Sumba Timur.

Garin Nugroho mempersembahkan dua film berlatar Sumba, yakni dan Surat untuk Bidadari (Nurul Arifin, Jajang C. Noer, Adi Kurdi, 1994) serta Angin Rumput Savana (Maudy Koesnaedy, Unique Priscilla, dan Renny Djayusman, 1995) mengambil gambar di savanna Waikabubak dan Waingapu.

Bahkan, film lain Mira-Riri bertajuk ‘Atambua 39 Derajat Celcius’ bukan mengambil tempat di Belu, kabupaten beribukota Atambua di Pulau Timor, tapi di Pulau Sumba, yang secara geografis maupun karakter masyarakat tidak jauh berbeda.

*Kisah calon sutradara memecahkan masalah*

Kembali ke Humba Dreams. Sentral utama film ada pada Martin (diperankan novelis Jombang Santani Khairen) dan Ana (dimainkan oleh drg. Triani Nursolihati atau Ully Triani).

Kisah film 76 menit ini berisi perjuangan Martin yang memecahkan ‘misteri’ warisan dari ayahnya yang meninggal tiga tahun lalu namun belum jua dikubur.

Martin, mahasiswa sekolah film di Jakarta, terpaksa harus pulang kembali ke Sumba untuk memenuhi panggilan ibunya yang terus-menerus mendesak ia pulang kampung untuk membuka wasiat dari almarhum ayahnya yang ternyata sebuah kartrij film 16 mm yang belum terekspos. Film itu harus ditayangkan untuk penduduk Sumba.

Begitu banyak kritik sosial disampaikan secara apik di film ini. Mulai kerasnya kehidupan di Sumba dengan alam yang menantang, susahnya mencari stasiun pengisian BBM, sampai pilunya kisah buruh migran dari Nusa Tenggara Timur.

Pun demikian, semangat pantang menyerah Martin membuat kita mendapat pesan betapa orang Sumba tak kenal menyerah. Dengan segala daya upaya, Martin akhirnya memutar film warisan ayahnya, sehingga ayahnya kemudian menjalani prosesi pemakaman secara adat.

Ina, Ama, Rambu, Umbu dari Tanah Humba memiliki kebaikan hati dan semangat untuk maju nan luar biasa. Keramahannya kepada tamu sudah terbukti.

Kamis, 28 Oktober 2021, hendak menuju Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya dalam perjalanan balik ke Jakarta via Bali, saya singgah ke rumah sahabat, Yanto Kristian Tena. Sekadar mampir ke kediamannya nan sederhana, disuguhi kopi khas Sumba oleh Ibu Merry, perempuan 46 tahun yang melahirkan Yanto dan lima saudaranya.

“Di sini kalau bertamu disuguhi sirih pinang dan kopi, berarti tanda sudah diterima sebagai keluarga,” kata Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumba Barat Daya, Enos Eka Dede.

Jelang pulang dari rumah Yanto, ibunya masuk ke bagian dalam rumah dan kembali ke ruang tamu memberikan saya cinderamata yang bagi saya sangat berharga: kain tenun Sumba. Ia tetap meminta saya menerima kain tenun meski sudah saya jelaskan bahwa saya telah menerima pemberian serupa dari Enos Eka Dede.

“Tolong diterima, ini dari kami,” ujarnya.

Tak hanya kain, Merry juga memberi saya parang atau dalam Bahasa Wewewa (Bahasa khas Sumba Barat Daya), senjata ini disebut ‘katopo’. Sebelumnya di Lelewatu Resort, tempat menginap tiga malam di ujung selatan Sumba Barat, saya tertegun melihat pegawai hotel bekerja berteman semacam pedang di pinggangnya. Tetap waspada sekaligus hargai tradisi turun temurun.

Warga Sumba biasa terlihat santai menenteng parang berukuran panjang. Sumba tak identik dengan kekerasan, karena benda tajam yang disebut katopo itu merupakan aksesori yang memang biasa dibawa warga.

Katopo berukuran sekitar 50 sampai 70 centimeter. Benda tajam tersebut diselipkan dalam kain yang melilit di pinggang. Bagi kaum pria, katopo juga sebagai simbol kejantanan. Baik pria dan wanita di Sumba menggunakan katopo untuk alat bantu bekerja, baik di ladang maupun di peternakan.

See you again, Sumba. Semoga bisa kembali ke tanah savana nan indah.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.