Saya kembali tersadar pentingnya membaca buku.
Terutama setelah melihat talk show di televisi beberapa saat lalu, dan mendengar pernyataan Faldo Maldini. Faldo seorang aktivis, dulu cenderung oposan, kini menjadi salah satu benteng pembela pemerintahan Presiden Jokowi setelah direkrut sebagai Staf Khusus Mensesneg Pratikno.
Faldo berkisah, ia punya atasan yang gemar membaca buku. Karena itu, ia jadi malu kalau tidak bisa menjawab pertanyaan bosnya, mantan Dekan Fisipol dan Rektor Universitas Gadjah Mada itu, “Apa buku terbaru yang sedang kamu baca?”
Di sinilah saya merasa perlu setidaknya kembali pergi ke Gramedia Grand Indonesia memborong setidaknya tiga buku sebulan sekali. Sudah lama tidak melakukannya. Terakhir ke sana sebelum Lebaran, kala itu saya membeli tiga buku: tentang Luis Suarez, tentang Ganjar Pranowo, dan satu lagi tentang komunikasi pemasaran berdasar kisah nyata, berjudul UnBranding: 100 Branding Lessons for the Age of Disruption karya suami isteri Amerika Alison Kramer and Scott Stratten.
Pekan lalu, saya sempatkan kembali ke East GI. Tiga buku masuk tas belanja saya. Tentang Benny Moerdani, tentang gairah di dunia kerja, dan satu lagi terkait kepemimpinan empat presiden (Obama, Trump, SBY dan Jokowi) diulas oleh Indoneisanis Profesor Bill Liddle.
Buku membawa kita tidak ngelamun. Buku membuat wawasan kita berkembang. Dalam perjalanan kembali dari Sumba pekan lalu, dengan dua kali penerbangan masing-masing Tambolaka-Bali dan Bali-Jakarta, saya menyesal bukan main karena buku William Liddle yang belum say abaca terlanjur masuk koper bagasi. Jadilah, manyun dalam 1,5 jam perjalanan di Airbus A-320 Batik Air Denpasar-Cengkareng yang layar entertainmentnya tak berfungsi. Bayangkan, terbang sepanjang itu hanya memelototi peta penerbangan.
Buku tulisan ‘Louis Sastrawijaya’ berjudul ‘Passion to Serve, Bagaimana Meraih Kebahagiaan dan Kesuksesan dalam Dunia Kerja’ sudah kelar saya baca. Dalam kecepatan cukup lambat sebenarnya. Antara teman di kamar mandi, di kantor, TransJakarta, sampai penerbangan berangkat menuju Tambolaka, Sumba Barat Daya.
Louis Sastrawijaya belasan tahun menggeluti pekerjaan sebagai motivational coach. Dipercaya lebih dari 500 perusahaan dan berpengalaman mengahar lebih dari dua ribu kelas di berbagai kota besar di Indonesia.
Di buku setebal 130 halaman ini, Louis membaginya dalam tujuh bab utama, diselingi kutipan tokoh-tokoh motivator antar babnya.
Purpose, Makna sebuah pekerjaan
Grateful, Fondasi utama dalam melayani
Contribution, Prioritas pada orang lain
Growth Mindset, Cara pandang yang positif
Competence, Pendukung dalam prosesnya
Agile, Gesit pada era perubahan
Grow with Excellence, Lompatan meraih kesuksesan
Titik balik yang ditegaskan Louis ada pada bab awal. “Apa sih tujuan kita hidup di dunia ini?”
Setelah mengalami goncangan akibat meninggalnya Papa pada tahun 2000, Louis merasa mendapat tuntutan dari dua buku: The 7 Habits of Highly Effective People-nya Stephen Covey serta The Purpose Driven Live-nya Rick Warrena. Purpose. Kehidupan yang digerakkan oleh tujuan.
“Selama bertahun-tahun saya terus berdoa mohon petunjuk dari Sang Pencipta mengenai apa yang bisa saya lakukan pada sisa hiduo ini agar dapat lebih bermanfaat dan mempunyai makna? Kompetensi apa yang dimiliki dan dapat saya bagikan kepada sebanyak-banyaknya orang?” kenang Louis.
Ia kemudian bercerita, doanya terjawab dengan satu momentum yang membuatnya jadi seorang pembicara sejak 2004 sampai sekarang.
Kerjakan yang kamu cintai. Cintailah pekerjaanmu. Tekuni dengan ‘passion’ (dalam kamus Bahasa Indonesia berarti ‘gairah’), maka pekerjaanmu tak akan terasa sebagai rutinitas membosankan.