Fans Salah Kurang Sabar

Pendukung Liverpool itu seperti orang yang terbang pakai balon udara setinggi langit. Saking tingginya, hampir menyentuh awan dan berpapasan dengan Airbus A 330-200 di ketinggian 30 ribu kaki yang terbang dari Jakarta ke Denpasar.

Sayangnya, pas lagi mengangkasa setinggi itu, tiba-tiba terjadi kesalahan teknis. Penerbang itu tak hanya jatuh ke bumi. Tapi juga ke dasar bumi, palung laut paling dalam. Di sinilah, ia merasa dunia seperti sudah berakhir.

Terbang sangat tinggi terjadi kala menghancurkan Manchester United 5-0 di Old Trafford. Bagi pendukung Liverpool, Senin pagi itu, 25 Oktober 2021, ngapa-ngapain rasanya enak saja. Ibaratnya tahi kucing dijilat pun rasa cokelat, kata maestro musik almarhum Gombloh.

Tapi, pekan berikutnya, tahi kucing itu mulai kelihatan dalamnya. Ternyata cokelat hanya toppingnya saja. Liverpool ditahan Brighton 2-2 di Anfield. Sudah unggul dua gol lebih dulu pula.

Dan pekan ini, murni deh, muntah-muntah semua. Dalam pagi terkantuk di laga late kick-off menjelang Senin yang seharusnya mengandung semangat kerja di pekan yang baru, The Reds pecah telor kalah di Liga Inggris musim ini. Keok dari West Ham 2-3, membuyarkan mitos Liverpool jagoan main tandang. Nyaris selalu menang dan minimal bikin tiga gol.

Kekalahan tim David Moyes mengakhiri rentetan tanpa kalah Liverpool yang dimulai sejak 6 April 2021. Usai kalah dari Real Madrid, Liverpool kemudian tak pernah kalah dalam 26 pertandingan hingga bertemu West Ham di Stadion London, 7 November kemarin.

Wasit Craig Pawson jadi sasaran. Gol pertama The Hammers dianggap tidak sah.

“Saya rasa jelas ada pelanggaran terhadap Alisson. Ada tangan Angelo Ogbonna di situ. Wasit dengan mudah berkata, ‘Lihat apa yang VAR katakan’. Mereka tidak menyebutnya dengan jelas, saya tidak tahu, itu sangat aneh. Itu bukan menjaga satu lawan satu. Itu menahan kiper,” urai Klopp.

Klopp juga menilai wasit mengambil keputusan yang salah ketika Aaron Cresswell melakukan tekel ‘gunting’ terhadap Jordan Henderson.

“Dari sudut pandang saya soal tekel Cresswell kepada Hendo, jelas kartu merah. Tak ada debat. Tetapi jelas kami tidak bisa membuat keputusan dan saya tidak tahu apa yang ingin dikatakan wasit saat ini, tetapi di dalam pertandingan dia terlihat percaya diri keputusannya adalah benar,” begitu Klopp berpendapat.

Akhir pekan kemarin, asa pendukung Liverpool seolah kembali membumbung. Rival berat mereka, Manchester United kalah 0-2 dalam derby melawan ‘tetangga yang berisik’: Manchester City.

Sementara itu, pemimpin klasemen Chelsea terancam terdesak karena ditahan seri Burnley. Sayangnya, sorakan di angkasa itu kemudian dilanjutkan dengan dentuman keras ke bawah. Tidak bawah-bawah amat sih sebenarnya. Cuma turun dari peringkat kedua ke keempat saja. Beda empat poin dari PK alias pemimpin klasemen.

Sesungguhnya, ini juga baru pekan ke-11. Masih ada 27 pertandingan lagi di Liga Inggris. Di Liga Champions, Liverpool berjaya di Grup B yang semula dianggap ‘Grup Neraka’. Menang empat kali dari empat laga berat melawan Atletico Madrid, AC Milan dan FC Porto. Di EFL alias Piala Carabao, jarang-jarang juga Liverpool masih bertahan hingga 8 besar. Leicester menanti sebagai lawan berikutnya di perempat final jelang Natal nanti.

Tapi, kecemasan begitu nampak. Meski kondisinya tak sekrusial putaran kedua di musim lalu. Kala The Reds keok enam kali beruntun di kendang. Jurgen Klopp juga jauh dari ancaman pemecatan, seperti dialami lima kawan seprofesinya musim ini: Xisco Munoz dari Watford, Steve Bruce dipecat Newcastle, Nuno Espirito Santo didepak Tottenham, Daniel Farke diputus kontrak Norwich, dan terbaru Dean Smith dilepeh Aston Villa.

Merasakan enaknya jadi juara setelah 30 tahun pada dua tahun silam, memang nagihin. Meski harus diakui, skuad Liverpool kali ini tidak sedalam dan sekuat Manchester City. Atau Chelsea yang lagi merasakan masa-masa emas di bawah asuhan Thomas Tuchel, kolega senegara Klopp. Manchester United dengan duo Portugalnya pun bisa dibilang lebih baik materinya. Sayang, peraciknya saja kurang berkelas.

Kalau mau jujur, pernyataan setelah ini mungkin menyakiti pencinta ‘Si Merah’. Tapi dengan bahan baku yang ada, Liverpool kelasnya hanya memperebutkan tiket empat besar menuju Liga Champions musim depan. Sebuah ajang untuk menjadi jaminan neraca keuangan klub akan baik-baik saja. Bisa juara di EPL musim ini? Bisa sih, kenapa tidak. Namanya juga probabilitas. Meski mungkin kemungkinan terwujudnya sama seperti berharap PSS Sleman juara Liga 1 2021/2022.

UCL musim ini? Ah, bisa delapan besar saja sudah hebat. Bonuslah kalau bisa masuk empat besar. Mungkin memastikan punya keberuntungan dan fighting spirit di turnamen kelas Carabao atau FA Cup -sudah lama sekali tidak berjaya di level ini- jauh lebih realitas bagi para Kopites.

Para penggemar Mo Salah harus membeli stok sabar lebih banyak. Jangan sekali kalah lantas minta pemain ini dijual, pemain itu dilego. Berbeda dengan pisau belati, rocker juga manusia, pemain bola juga punya hati, punya rasa.

Saatnya jeda dari kompetisi domestik dua pekan. Sambil mencoba bangkit dari dasar terdalam, kembali ke bumi, dan sesekali melihat langit yang pernah digapai. Mau mimpi menjejak langit lagi? Boleh, tapi, sekali lagi, pencinta Liverpool harus punya dua hal.

Satu, sabar.

Dua, realistis.

Itu saja.

Sebagaimana ditayangkan di

https://kanalbola.id/fans-salah-kurang-sabar/

Leave a Reply

Your email address will not be published.