Konon di suatu waktu. Ada seorang putri yang dilepas oleh ayahnya, seorang raja yang tidak ingin putrinya tersebut jatuh ke tangan musuh.
Sang putri yang masih balita diikat di atas beberapa keping papan dalam keadaan terbaring. Karena terbawa arus dan diterpa gelombang, papan tersebut terbalik. Ketika papan tersebut terdampar di tepi pantai ditemukan oleh seorang nelayan dan begitu dibalik ternyata terdapat seorang putri yang masih dalam keadaan terikat. Konon putri tersebut bernama Putri Petung yang berasal dari Kerajaan Pasir. Maka daerah tempat ditemukannya sang putri kemudian dinamakan Balikpapan.
Hahaha.. itulah sohibul hikayat mengenai asal muasal nama Kota ‘Balikpapan’, Kota yang begitu ramai, yang semula disebut sebagai ‘Ibu Kota Kalimantan’, karena menjadi kota dengan bandara besar, ekonomi berkecepatan tinggi ditunjang sumber daya alam minyak yang dikelola Pertamina. Begitulah, kota berpenduduk 650 ribu jiwa ini bahkan melebihi Samarinda, ibu kota provinsi Kalimantan Timur, dan kota-kota besar lain di Borneo, sebutan akrab Pulau Kalimantan.
Oh ya, kalau ‘Borneo’ sendiri asalnya dari nama pohon Borneol (bahasa Latin: Dryobalanops camphora)yang mengandung (C10H17.OH) terpetin, bahan untuk antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper, kayu kamper yang banyak tumbuh di Kalimantan, kemudian oleh para pedagang dari Eropa disebut pulau Borneo atau pulau penghasil borneol. Meski ada pula yang menyebutnya berkelakar sebagai daerah baru, lahir baru. Born artinya lahir. Neo artinya baru.
Kini, Balikpapan tak hanya jadi ibu kota Borneo, tapi juga pintu gerbang menuju ibu kota baru Nusantara yang ‘ditancapkan’ Presiden Jokowi sebagai masa depan Indonesia.
Bandaranya dikenal sebagai Sepinggan, sesuai nama wilayah daerah itu. Namun, sejak 15 September 2014, Bandara Sepinggan berganti nama jadi panjang jadi Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman (SAMS) Sepinggan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan pergantian nama itu, di era Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek.
Aji Muhammad Sulaiman merupakan Sultan ke-17 Kerajaan Kutai Kartanegara. Putera ke-8 dari Sultan Aji Muhammad Salehuddin dengan istrinya Aji Kinchana. Lahir pada t8 Februari 1838, menggantikan ayahnya menjadi Sultan pada saat ayahandanya wafat tanggal 23 Juli 1845.
Ia memerintah di 1850 hingga 1899. Bergelar Al Adil Khalifatul Amurul Muminin Kartanegara ing Martadipura ke-17, Sultan Aji dikenal memiliki andil dalam kemajuan Kaltimantan melalui kerajaan Kutai di masa pemerintahan Hindia Belanda.
Sebagai Wakil Pemerintah Hindia Belanda, perekonomian masyarakat Kalimantan mulai hidup. Awang Faroek mengatakan, di masa pemerintahannya itu pula hadir lapangan udara untuk meningkatkan kegiatan perekonomian di Kalimantan. “Dia (Sulatan Aji Muhammad Sulaiman) pula yang menghapus perbudakan di Kalimantan Timur ini,” kata Awang.
Menikmati Balikpapan
Kunjungan ke Balikpapan ini yang ketiga bagi saya. Pertama kali ke Bandara SAMS Sepinggan, hanya transit usai penerbangan dari Tarakan. Ga usah dihitunglah. Selanjutnya, dua kunjungan lain untuk acara bola. Nonton partai usiran Persebaya melawan Semen Padang, serta mendampingi Ketua Umum PSSI meresmikan gelaran Liga 2 2020 yang langsung berhenti karena Covid-19.
Kali ini, tiga hari dua malam juga. Tapi agak lama. Sempat ke IKN di Penajam Paser Utara. Ke kantor koran Kaltim Post mencari edisi terbaru media grup Jawa Pos itu. Ke Kafe ‘This Way’ untuk mensyukuri acara utama Dies Natalis ke-60 GAMKI di Swisbel Hotel di tepian Teluk Balikpapan. Acara ditutup dengan makan siang di Lapoondi. Menikmati kebersamaan bersama aneka hidangan ‘kaki pendek’.
Di Balikpapan, saya mengenang, kakek saya, Soegirin, seorang tukang ledeng pekerja keras, pernah bekerja merantau di sini. Sebuah kehidupan dan lorong waktu yang luar biasa…