Liverpool-nya Jurgen Klopp kembali mendapati Real Madrid sebagai ‘kryptonite’-nya. Menyerah 0-1 dalam final Liga Champions semalam, meski bisa dibilang cukup mendominasi pertandingan.
“Semoga kita bisa seberuntung Real Madrid dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas kita.”
Statement itu muncul dalam salah satu WAG pendukung Liverpool usai kekalahan menyakitkan dini hari tadi. Liverpool tampil lebih baik, setidaknya bila dibandingkan dengan final Kiev 2018, tapi harus mengakui kemenangan Madridnya Carlo Ancelotti.
Statistiknya, Liverpool menang penguasaan bola 54 berbanding 46 persen. Tim merah punya 24 tendangan ke gawang, dengan 9 shots on target. Tanpa satu gol tercipta. Adapun Real Madrid bikin 4 shots dan 2 di antaranya on target. Termasuk gol Vinicius Junior di menit ke-59.
Liverpool pun boleh berkilah, Madrid juara karena kehebatan kiper Thibaut Courtois. Penjaga gawang asal Belgia itu kemudian jadi pemain terbaik final.
“When the goalkeeper is Man of the Match then something is going wrong for the other team…,” kata Klopp pada jumpa pers usai laga final.
Faktanya, Liverpool kurang klinis. Dua kali juara musim ini, semua melawan Chelsea di final Piala Liga dan Piala FA. Tapi, dua-duanya nir gol di final. Nol nol di babak normal hingga perpanjangan waktu dan menang tipis di adu penalti hingga melewati jatah lima penendang pertama.
Fakta lain, Don Carlo bukan hanya beruntung. Ia jago strategi. Pragmatis. Bukan sekali ini. Ia pernah mengalahkan Liverpool di Final Athena 2007, meski pernah kalah dengan mengenaskan juga di Final Istanbul 2005. Namun, bek AC Milan era 1990-an ini selalu terbukti sukses ‘mengunci’ para penyerang Liverpool. Baik saat Carlo membesut Napoli, Everton dan kini kembali ke Madrid.
Bawalah segala kemeriahan dunia sepak bola ke kehidupan sehari-hari. Ambil pesan moral itu. Mari lebih klinis, kuat perhitungan, serta disiplin mengambil kelebihan diri sendiri dan cerdik lihat kelemahan lawan. Sisanya, keberuntungan akan datang dalam persiapan maksimal dan kesempatan yang tepat.