Boeing 737-800 Next Generation milik Batik Air mendaratkan saya dengan mulus di Bandar Udara Fatmawati Soekarno. Welcome to Bengkulu!
Nama daerah ini awalnya ‘Bengcoolen’ atau ‘Coolen’. Berasal dari Bahasa Inggris ‘Cut Land’ yang berarti Tanah Patah. Maklum, wilayah ini adalah wilayah patahan gempa bumi paling aktif di dunia.
Beratus tahun lalu, ekspedisi East India Company (EIC), sebuah kongsi dagang asal Inggris dipimpin Ralp Ord dan William Cowley datang ke Bengkulu untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada setalah pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, dan EIC dilarang berdagang di sana.
Lalu, sejak dilaksanakannya Perjanjian London pada 1824, Bengkulu diserahkan ke Belanda, dengan imbalan Malaka, sekaligus penegasan Inggris atas kepemilikan Tumasik/Singapura dan Pulau Belitung. Sejak perjanjian itu Bengkulu menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Bengkulu dikenal dengan julukan ‘Bumi Raflesia’ karena menjadi habitat bunga padma langka berukuran raksasa, Rafflesia arnoldii, keajaiban alam Indonesia yang mencuri perhatian.
Rafflesia arnoldii pertama kali ditemukan tahun 1818 di hutan tropis Sumatera oleh pemandu Dr Joseph Arnold yang sedang mengikuti ekspedisi Thomas Stanford Raffles. Jadi, nama Rafflesia arnoldii merupakan gabungan dari nama dua orang tersebut.
Di sini Soekarno mengalami masa pembuangan dari 1938-1942. Belanda menyingkirkan Bung Karno ke Bengkulu, dengan ‘harapan’ segera meninggal dunia karena tersengat malaria. Namun, alih-alih mati tergigit nyamuk, Soekarno menemukan isteri baru. Fatmawati, anak tokoh Muhammadiyah Bengkulu, dinikahi Soekarno di usia 20 tahun. Nama lahirnya Fatimah.
Fatmawati, yang kemudian menjadi Ibu Negara dan ibu kandung Megawati Sukarnoputri beserta empat saudaranya dikenal sebagai penjahit bendera Merah Putih. Patung pahlawan Nasional yang namanya juga diabadikan sebagai Bandara Bengkulu ini diresmikan Presiden Jokowi dua tahun lalu. Nampak Bu Fatma menjahit bendera pusaka dengan mesin jahit kesayangannya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bengkulu menjadi karesidenan dalam Provinsi Sumatera Selatan. Baru sejak 18 November 1968 ditingkatkan statusnya menjadi provinsi ke-26. Termuda setelah Timor Timur
Provinsi Bengkulu amat luas. Di utara, berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sementara di ujung bawah, berbatasan dengan Ogan Komering Ulu Selatan, Muara Enim, Pagar Alam, dan Lahat (Sumatera Selatan) serta Pesisir Barat (Lampung).
Total penduduk Bengkulu hanya 2 juta orang. Kepadatannya pun cuma 105 orang/km2.
“Orang Melayu Bengkulu punya pepatah sangat terkenal, yakni ‘Ikan Sejerek Bere Secupak’,” kata Tiara, sahabat baru yang saya temui dalam suasana makan-makan aktivis di kawasan Sudirman, Pintu Batu, Kota Bengkulu.
Pepatah itu punya banyak makna. ‘Ikan satu ikat, beras satu liter’. Secara positif bisa diartikan pola hidup sederhana yang tidak memaksakan diri untuk memenuhi nafsu duniawi yang tidak terbatas.
“Hidup selalu mengambil segala sesuatu dari alam secukupnya, tidak melebihi dari ukuran yang yang menjadi kebutuhan. Orang Bengkulu itu bekerja antara dunia dan akhirat itu seimbang, mereka tidak ‘ngoyo’ dalam mencari rezeki, apa yang dapat disyukuri, sekecil apapun itu,” tulis sebuah jurnal di Universitas Bengkulu (Unib).
Selain ungkapan itu, Provinsi Bengkulu punya motto ‘Sekundang setungguan seio sekato. Seberat apapun pekerjaan jika dikerjakan bersama-sama akan terasa ringan juga.’
Doa kita, semoga Bengkulu semakin maju sajo…
Dimuat di Gaharu, Juni 2022