Israel-Palestina: Kami Saling Membutuhkan, Konflik Ini Tak Ada Artinya

Satu pertanyaan sebelum dan saat menginjak ‘Holyland’ adalah bagaimana situasi konflik dan keamanan di sana.

Pada pertemuan zoom dua pekan sebelum berangkat, saya bertanya kepada seseorang yang kemudian kami kenal sebagai tour leader kami.

“Bagaimana keamanan di sana, mengingat tensi Israel dan Palestina meningkat terutama sejak serangan tentara Israel ke Masjidil Aqsa 15 April lalu?”

Anda juga tahu, ketegangan makin tinggi dengan tewasnya jurnalis Aljazeera berkebangsaan Palestina, Shireen Abu Akleh.

Saat itu, Joppy Taroreh menjawab, bahwa situasinya sangat safe. Konflik tidak terjadi setiap hari. Dan rombongan peziarah pun tidak lewat daerah rawan pecah perang.

Saya mengawali coretan tema ini dari atas bus pada Kamis siang, 30 Juni 2022, dalam lima jam perjalanan meninggalkan Betlehem ke arah perbatasan Mesir. Tiga malam kemarin kami menginap di wilayah Palestina dan semua baik-baik saja.

Wilayah Palestina saat ini terbagi menjadi dua entitas politik, yaitu Wilayah Pendudukan Israel dan Otoritas Nasional Palestina. Daerah itu meliputi Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan dan, hingga tahun 1982, Semenanjung Sinai.

Bangsa Kan’an membangun kurang lebih 200 kota dan desa di Palestina seperti Pisan, Alqolan, Aka, Haifa, Bi’ru Al Shaba, dan Betlehem. Kota besar Kan’an saat itu adalah Shekeem dan diikuti wilayah yang masih bisa ditemui sekarang adalah Asdod, Acco, Gaza, Al-Majdal. Jagga, Askelan, Ariha, Yerikho, dan Bisan.

Adapun status Yerusalem masih menjadi sengketa kedua pihak. Palestina menyatakan beribukota di Yerusalem Timur, dengan pusat pemerintahan di Ramallah, Tepi Barat. Sementara Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan era Donald Trump memindahkan kedubesnya dari Tel Aviv ke ‘Kota Daud’.

Selama empat hari tiga malam di Saint Joseph Hotel, Betlehem, bus Mercedez Irizar kami selalu melewati pos lintas batas Betlehem ke dan dari arah Yerusalem. Semua fine fine saja. Tak ada pemeriksaan macam-macam. Bak lewat portal kampung Anda itu lho….

Anda bisa lihat di foto bergrafiti Nelson Mandela yang wajahnya lebih mirip Morgan Freeman, pemeran Mandela di film Invictus (2009). Lokasi foto itu persis di depan restoran Tachi Chinese, Betlehem. Makan siang di sini kami bersorak disuguhin hidangan khas tanah air. Tersaji soto, ayam panggang, dadar telor, dan bakwan jagung.

Grafiti Mandela itu terletak di tembok yang membatasi Palestina dan Israel. Sebelas duabelaslah dengan kampug Jok Teng di Jogja. Pojok Beteng.

Pagi pertama di Betlehem, guide lokal Jeries Farah dari EO lokal Eternity Tour mengajak kami mampir di toko souvenir milik keluarga Katolik di kota itu.

“Kasihan sekali mereka. Selama dua tahun tak ada turis akibat pandemi, tak ada penghasilan, tak ada tunjangan. Kalau kami di Israel, masih dapat tunjangan dari pemerintah. Israel negara yang sangat makmur, Bapak, Ibu,” kata Jeries.

Jeries berterusterang, ia punya kerabat yang punya toko souvenir di Nazaret, Israel. Tapi ia tak mengarahkan rombongan tur ke sana. Baginya, lebih baik peserta tur “mensubsidi” hidup saudara seiman di wilayah Palestina.

Memang sih, setiap mau naik bus dari depan Hotel Betlehem, kami selalu dikepung pria-pria Arab warga lokal Palestina. Mereka menawarkan aneka cinderamata seperti kafiyeh atau syal khas Timur Tengah, magnet kulkas, gantungan kunci, dompet, tas dari kulit onta, dan lain lain.

Anda pasti sudah tahu bahwa di berbagai belahan manapun di dunia ini, rata-rata pedagang harus punya satu kemampuan dasar: bisa berbahasa Indonesia. Mau turunan Afrika di bawah Menara Eiffel -saya pernah beli gunting kuku seharga 1 euro di Paris- sampai di Timur Tengah sini.

Karena turis Indonesia adalah pasar terbesar, mereka punya basic skill untuk berucap, “Magnet tiga sepuluh, tiga sepuluh…” Artinya tiga biji seharga sepuluh dolar.

Banyak juga yang kemampuan Bahasa Indonesianya sangat advanced, seperti Naim guide kami di Yordania, dan Jeries pemandu kami di Israel-Palestina.

Pun saat mampir ‘Mount of Temptation’, bukit tempat Yesus tiga kali dicobai Iblis. Mengubah batu jadi roti. Meloncat dari atas bukit. Dan menyembah setan untuk mendapat harta kuasa duniawi.

Di bawah lokasi yang masuk area Palestina itu ada toko ‘Abu Fared’. Salah satu pramuniaga andalnya bernama Goliat. Memang berperawakan besar seperti lawannya Daud.

Goliat pintar sekali berbahasa Indonesia. Dia fasih menarik hati ibu-ibu berbelanja kurma dan kacang Arab.

“Kurma istimewa. Spesial diskon untuk Indonesia,” kata Goliat.

Fenomena yang sama terjadi saat kami mampir di Qumran, lokasi situs ditemukannya gulungan kitab Yesaya oleh para peternak Suku Bedouin.

Di wilayah tepi Dead Sea sisi Israel itu ada toko yang AC-nya adem banget. Pramuniaga Ahmad lincah menawarkan kosmetik berbahan lumpur Laut Mati. Bisa buat facial, berendam dll.

“Simsalabim… lumpur masker.. beli dua gratis satu. Empat biji 27 dolar. Kalau satu 16 dolar,” teriaknya. Jangan bingung ya. Jujur saya lupa detail harganya. Tapi cara jualannya kayak gitu, deh. Kan item barangnya tak hanya satu.

Saya memujinya, “Ahmad, Bahasa Indonesiamu bagus sekali.”

Tersanjung, ia menjawab, “Really? Terima kasih.”

Sambil menunggu ibu-ibu berbelanja, ia pun curhat.

“Saya ingin ke Bali. Berapa harga hotel per malam? Berapa tiket pesawatnya? Saya dari Palestina, bisakah ke sana?” tanyanya.

Kawannya penjaga toko satu lagi lebih dahsyat. Nama di name tagnya Mohammad Mahalies. Ia memegang keranjang bawaan sambil bertanya. “Ini apa namanya?”

“Basket,” jawab saya.

“Bisa disebut keranjang? Bakul?” katanya.

Busyet. Ojo sok keminggris, Jo.

Dengan cengengesan, Mohammad Mahalies lalu berkata, “Sabaraha? Sikit-sikit saya tahulah.”

Maksudnya, tahu bahasa daerah dan istilah-istilah gaul. Lalu, sambil jalan ke area kasir, Mahalies seperti bersenandung kecil, “Mantap, mantul. Top markotop!”

Beneran, lho. Masak di Tanah Suci saya bohong…

Oh ya, saya juga harus bisa membedakan cara berterima kasih. Kalau lihat orang itu berperawakan Arab, saya ucapkan, “Syukran.”
Dijawab, “Afwan”.

Arti Syukran atau Syukron adalah terima kasih, sedangkan afwan adalah maaf. Meski tak berarti “sama-sama” secara harfiah, afwan bisa digunakan sebagai jawaban dari ucapan syukran dalam hubungan sosial.

Sementara kalau saya lihat lawan bicara kayaknya Yahudi, maka bilangnya, “Toda.” Aksennya seperti kita bilang. “Sudah.”

Jika seseorang mengucapkan terima kasih kepada Anda dalam bahasa Ibrani, Anda bisa membalasnya dengan mengucapkan “bevakasha” (בבקשה), yang berarti terima kasih kembali, atau “you’re welcome” dalam bahasa Inggris. Kata ini dilafalkan sebagai ‘bev-uh-kuh-shah’.

Pernah di sebuah toko saya salah ucap bilang, “Toda.” Langsung diralat oleh sang penjual cinderamata, “No, not Toda. Syukran…”

Jeries menekankan, konflik Israel dan Palestina ini murni ‘hanya’ masalah ideologi. Tak ada emas atau minyak bumi yang diperebutkan.

“Pada dasarnya Palestina dan Israel saling membutuhkan. Konflik ini tak ada artinya,” tegas Jeries.

Beberapa hari lalu kami city tour melewati Haifa. Ini kota besar. Klub sepak bolanya Anda pasti sudah tahu: Maccabi Haifa. Salah satu legendanya Yossi Benayoun, eks kapten timnas Israel dan gelandang serang Liverpool.

“Ini kota pelabuhan utama di Israel, selain Asdod dan Askelon. Mendapat penghargaan Unesco karena kerukunan dan toleransinya,” kata Jeries.

Penduduk Haifa sekitar 300 ribu orang. Proporsinya 260 ribu Yahudi dan 40 ribu lainnya Arab. Dari bus, terlihat kantor perwakilan industri high tech dunia.

Kami lewat gedung Intel, IBM, Microsoft, Google.

“Banyak startup Israel diakuisisi investor bermiliar-miliar dolar. Seperti Waze yang dibeli Google,” kata Jeries.

Nama awal Waze, aplikasi navigasi berbasis GPS bikinan duo Uri Levine dan Amir Shinar adalah ‘FreeMap Israel’.

Jeries bercerita, banyak pasangan muda Israel pindah ke Haifa, karena iklim ekonominya bagus. Singkatnya, ada anekdot, “Haifa kota buat kerja, Yerusalem kota doa, Tel Aviv kota dosa.”

Israel memberlakukan pajak proporsional. Penghasilan di bawah 1.000 dolar per bulan bebas pajak, sementara untuk gaji 1.000-5.000 dolar, pajaknya 15 persen. Begitu seterusnya. Makin tinggi income, makin gede tax.

“Adik saya jadi head of group Intel. Gajinya 60 ribu syekel, sekitar 18 ribu dolar sebulan. Dipotong pajak, tinggal 10 ribu dolar per bulan,” ceritanya.

Jeries berkata, Israel tiap tahun makin maju. Selalu ada pembangunan proyek-proyek baru.

“Tapi juga semakin padat. Kami mulai menderita karena macet di mana-mana,” ungkapnya.

Sebagai penutup, omong-omong soal budaya, tradisi dan sosiografis Yahudi, saya tak boleh lupa berbagi pengalaman sejenak berkunjung ke Tembok Ratapan (Wailing Wall).

Tembok Ratapan adalah tempat yang penting dan dianggap suci oleh orang Yahudi. Ini adalah sisa dinding Bait Suci di Yerusalem yang dibangun oleh Raja Herodes.

Bait Suci itu hancur ketika orang-orang Yahudi memberontak kepada kerajaan Romawi pada tahun 70 Masehi. Panjang tembok ini aslinya sekitar 485 meter, dan sekarang sisanya hanyalah 60 meter.

Orang Yahudi percaya bahwa tembok ini tidak ikut hancur sebab di situlah berdiam “Shekinah” atau kehadiran ilahi. Jadi, berdoa di situ sama artinya dengan berdoa kepada Tuhan.

Tembok ini dulunya dikenal hanya sebagai Tembok Barat, tetapi kini disebut “Tembok Ratapan” karena di situ orang Yahudi berdoa dan meratapi dosa-dosa mereka dengan penuh penyesalan.

Selain mengucapkan doa-doa, orang Yahudi juga meletakkan doa mereka ditulis pada sepotong kertas yang disisipkan pada celah-celah dinding itu.

Dinding ini dibagi dua dengan sebuah pagar pemisah (mechitza) untuk memisahkan laki-laki dan perempuan. Orang Yahudi Ortodoks percaya bahwa mereka tidak boleh berdoa bersama-sama dengan kaum perempuan.

Meninggalkan Tembok Ratapan, kami berpapasan arak-arakan seperti ‘penganten sunat’. Awalnya mereka nyanyi, “Havenu Shalom Alechem,” tapi saat saya mulai merekam, eh ganti lagu Yahudi lain.

“Itu adalah perayaan akil balik dalam tradisi Yahudi. Anak usia 13 tahun sudah dianggap dewasa dengan menyelesaikan pembacaan Kitab Taurat pertama,” jelas Jeries melihat kami melongo menyaksikan keriuhan itu.

Menilik lagu Havenu Shalom Alechem, Kubawa Berita Sejahtera, kira-kira ya, kalau ada kawan bertemu Anda, apakah mereka mengidentikkan Anda selalu membawa kabar kebaikan? Atau menganggap Anda sebagai penebar gosip, tukang berkeluh kesah dan senantiasa mengasihani diri sendiri?

Dari kamar Hotel Tolip Resort di kota Taba, Mesir bagian Asia, Kamis malam waktu Sinai Selatan, saya berdoa kita bisa terus membawa kabar kebaikan. Berita sejahtera setiap berjumpa sesama.

Shalom Alechem!

Leave a Reply

Your email address will not be published.