Lima hari empat malam di Tanah Terjanji Israel-Palestina, kami permisi menuju Mesir.
Pagi itu, kami bergerak meninggalkan Betlehem. Seperti pengalaman saat menyeberang batas darat dari Yordania ke Israel, perjalanan seperti ini tak boleh terlalu siang. Waktu pemeriksaan di imigrasi antar negara harus diperhitungkan.
Kami lewat Hebron, sebuah kota di Wilayah Yudea Selatan, di Tepi Barat. Mengapa disebut Tepi Barat, karena daerah itu ada di sisi barat Sungai Yordan. Tepi Barat dan Jalur Gaza merupakan teritori Palestina yang dideklarasikan pada 1988. Terletak 930 meter di atas permukaan laut, di Hebron tinggal sekitar 120 ribu orang Palestina dan 600 pemukim Israel.
“Tak jauh di sini terletak Mamre, lokasi tempat Abraham ketamuan tiga malaikat yang menubuatkannya akan memiliki anak laki-laki dari Sarah,” kisah Jeries Farah, pemandu wisata kami mengutip Kejadian 18.
Di kisah itu, memang ditulis, “TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik.”
Benar, sih. Panas sekali suasana di situ. Meski kami berada di bus terlindung pendingin udara cukup kuat.
Dari Betlehem, Yerusalem, kami keluar meninggalkan Israel kembali melewati Yerikho. Di sini teringat cerita Yesus mengenai ‘Orang Samaria Murah Hati’. Disampaikan bahwa ada seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Di situlah lokasinya. Jalan nan terik.
Kembali lewat padang gurun, melintasi Beersheba, yang terletak di Dataran Tinggi Negeb, kami singgah sejenak di bekas ‘Sodom dan Gomora’. Di tempat inilah, Lot melarikan diri bersama keluarganya karena kota itu dibumihanguskan Tuhan akibat kebejatannya. Abraham gagal ‘bernegosiasi’ dengan Tuhan, karena ternyata jumlah orang percaya di sana tak sampai sepuluh orang.
Malaikat Tuhan yang menyelamatkan Lot sekaligus ‘menunggangbalikkan’ Sodom dan Gomora sebenarnya sudah berpesan,
“Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di manapun juga di Lembah Yordan, larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap.”
Sayang sekali, dalam perjalanan ke Zoar, sebagai tempat pengungsian yang disepakati, isteri Lot melihat ke belakang. Di sebuah onggokan, menara kecil, yang dipercaya sebagai tiang garam isteri Lot itulah, kita percaya, jangan main-main dengan masa lalu. Terutama jika Tuhan sudah menjanjikan masa depan yang baru.