Serba-Serbi Holyland

Dua pekan perjalanan ke lima negara dan dunia benua berkesudahan pada 5 Juli 2022. Tapi, masih ada beberapa cerita yang dibuang sayang.

Senin malam atau Selasa dini hari, 5 Juli 2022, pukul setengah dua pagi waktu Kairo, kami meninggalkan bandara internasional di ibu kota Mesir itu terbang menuju Dubai menggunakan Emirates Air EK 926.

Masih menggunakan Boeing 777-300, paginya kami berganti dari Dubai menuju Jakarta. Tujuh jam penerbangan dari Bandara DXB menuju CGK memakai Emirates Air EK 358. Dari Dubai jam 10 pagi, sampai Cengkareng jam 10 malam. Ada perbedaan waktu tiga jam antara dua kota di dua negara ini.

Meski sudah selesai peziarahan ini, menambah koleksi lima negara jadi total 18 negara pernah Tuhan izinkan untuk dikunjungi, setidaknya ada beberapa poin yang eman kalau tak diceritakan.

Lift Sabat

Saya pernah mendengar dari kotbah Pastor Philip Mantofa dari Gereja Mawar Sharon Surabaya pada program Youtube ‘Saat Teduh Bersama’.

Pada salah satu renungan ‘SaTe’ nya, Pastor Philip pernah berkisah tentang betapa hormatnya umat Israel pada Hari Sabat. Orang Yahudi masih memegang teguh salah satu ajaran 10 Perintah Allah: Kuduskanlah Hari Sabat.

Maka, pada hari Sabtu, sebagai Hari Sabat di Israel, mereka tak boleh bekerja. Termasuk lift di hotel pun dimatikan. Tapi, untuk menghormati tamu lain yang bukan orang lokal dan tak harus berhenti beraktivitas di Hari Sabat, ada satu lift khusus yang dinyalakan secara khusus. Itulah ‘Sabbath Elevator’. Kami menemuinya di Nazareth Plaza Hotel

Pesan moralnya: Silakan lakukan ajaran agama Anda. Tapi, tetap hormati orang lain, sesamamu yang tak beragama sama, tapi satu dalam kemanusiaan. Itulah ibadah yang sebenar-benarnya.

Packinglah dengan Thinking

Tidak mudah bepergian dalam kurun waktu lebih dari 10 hari. Setidaknya, sediakan koper yang sangat besar. Tapi, itu pun belum cukup.

Maka, strategi lain yang kami lakukan adalah membeli plastik pembungkus baju yang akan dipakai. Kantung plastik itu didesain khusus. Bisa divakum alias dipompa sehingga udara yang ada di dalamnya kempes. Efeknya, tempat penyimpanan di koper lebih irit dan praktis. Tidak makan tempat di koper. Memang ada effort lebihnya sih, mesti pompa sebelum tata baju, baik sebelum berangkat maupun dalam bongkar baju harian di perjalanan.

Tips lain, karena perginya lumayan lama, kami beli celana dalam sekali pakai. Jadi, tidak usah sekali pakai lepas, lalu masuk tas plastik busana kotor. Sekali pakai langsung buang. Kenapa ga bawa CD biasa? Tentu saja, selain banyak menyita tempat, juga bakal lebih bau daripada busana lain.

Selain itu, dalam perjalanan dua pekan ini, ada sekitar lima potong kaos maupun celana saya tinggal di kamar hotel. Tak lagi dibawa pulang. Sudah ditentukan, busana mana yang akan ditinggal. Termasuk saat usai mengapung di Laut Mati.

Pesan moralnya: Jangan biarkan kopermu penuh dalam perjalanan panjang. Sisakan tempat buat souvenir dan barang-barang lain yang akan dibeli. Jadi, berkemaslah dengan ringkas.

Kurs di Perjalanan

Selama peziarahan kelima negara, setidaknya saya berkenalan dengan beberapa mata uang. Meski tidak harus memiliki dan memegang langsung uang itu. Penyebabnya sederhana, dolar AS bisa dipakai di mana saja.

Di Dubai, hanya beberapa jam, tak sempat belanja. Meski tahu di sana mata uangnya dirham. Dari cerita guide Dwi Arika, lajang Priangan yang mengais dirham di Uni Emirat Arab. Satu dirham senilai empat ribu rupiah.

Baik saat ke Mall Dubai di sisi Burj Khalifa, juga kala makan siang di resto Filipina dan berada di kisaran Bandara Dubai International Airport, saya tak sempat keluar dompet di sana.

Selanjutnya, di Yordania. Mata uangnya JOD alias Dinar Yordania. Satu JOD senilai Rp 20 ribu.

Di Petra, lokasi wisata andalan Yordania, sempat belanja baju timnas Yordania, tshirt dan magnet tempelan kulkas. Juga kala beli hiasan dinding di Gunung Nebo dari mahakarya tempelan pernak-pernik kayu kecil. Semuanya dibayar pakai konversi Dolar AS.

Pun demikian di Israel dan Palestina. Mata uang yang dipakai Israel NIS alias Shekel Baru Israel kira-kira setara Rp 4.500. Palestina memang pernah punya mata uang sendiri, ‘Pound Palestine’ alias ‘Jenaih Filistin’. Tapi, kisahnya kini lebih jadi koleksi alias benda dengan nilai sejarah tinggi.

Empat malam di Israel dan Palestina -semalam di Nazaret dan tiga malam di Betlehem- paling belanjaan sekitar souvenir, dan es jeruk pinggir jalan. Makan berat kan sudah ditanggung paket agen perjalanan. Lagi-lagi, semua pembelanjaan itu bisa dibayar dengan Dolar AS.

Nah, masuk empat malam di Mesir. Terasa khasnya. Mata uangnya Egyptian Pound, setara hampir Rp 800 rupiah untuk 1 EGP. Di sini, sempat berniat belanja roti atau mie instan di sebuah minimarket depan Hotel Hyatt di kawasan New Giza, Kairo. Kasirnya tak mau terima Dolar AS. Karena saya tak punya uang lokal, terpaksa deh gesek kartu kredit. Namun, di Bandara Kairo, maupun di toko-toko souvenir, mereka bisa terima USD.

“Magnet, dompet… Sepuluh tiga, sepuluh tiga,” kata penjualnya dalam bahasa Indonesia fasih namun dengan perbendaharaan kosa kata terbatas. Maksudnya, Sepuluh Dolar, dapat tiga biji.

Itulah sekilas suasana permatauangan di kawasan Timur Tengah ini.

Pesan moralnya: kalau di luar negeri belanja, ya, belanja saja. Tak usah dikit-dikit mikir… berapa ya nilainya dalam rupiah.

Adaptasi Makanan Lokal

Merasakan berbagai negara, kadang kita dihantui perasaan tak siap untuk adaptasi lidah. Terutama, bagi orang Indonesia belum makan kalau tidak ada menu nasi, krupuk, dan sambel-sambelan.

Tapi, tenang saja. Sebagaimana tubuh yang bisa beradaptasi pada cuaca seekstrem apapun, Tuhan juga menciptakan lidah kita bisa menerima makanan yang tak biasa.

Pesan moralnya: Bersyukur, baik di Emirates, Yordania. Israel, Palestina, dan Mesir, lidah dan perut ini tak banyak protes. Ditambah karena di beberapa lokasi itu ada juga menu dan bahkan restoran China, Filipina, serta Indonesia!

Berubah Setelah Ziarah

Di sebuah toko souvenir dekat Laut Mati sisi Israel, saya melihat sebuah kaos bergambar tiga burung. Burung merpati itu punya tiga gaya berbeda. Yang satu ‘hear peace’, sikapnya seperti membuka telinga mendengar kotbah. Satunya bertuliskan sikap ‘see peace’, seperti menangkupkan sayapnya ke mata. Serius melihat datangnya damai.

Adapun sikap burung ketiga adalah ‘Speak Peace’. Siap berbagi sukacita pasca mendengar dan melihat damai secara langsung. Semoga ada yang berubah dalam hidup ini pasca berziarah ke Tanah Suci!

Pesan moralnya: Mari berubah. Jangan jadi orang yang sama antara sebelum dan setelah mendengar, melihat, dan merasakan Sang Damai Sejahtera itu!

Leave a Reply

Your email address will not be published.