Mo Salah adalah kisah heroik. Pahlawan masa kini bagi orang Mesir.
Saat berkunjung tiga hari di Mesir, awal Juli 2022, terasa sekali betapa pemain sepak bola Mohamed Salah begitu diidolakan di negara asalnya. Dua hal menjadi ‘pegnews’ atau pemicu kejadian.
Pertama, Salah tengah menjalani masa bimbang apakah di musim baru 2022/2023 tetap berseragam Liverpool, klub yang melambungkan namanya. Atau dia pamit karena merasa nilai kontrak dan gajinya bersama The Reds tak sebanding dengan jasanya. Pada akhirnya, Mo Salah memperpanjang kebersamaannya. Kabar itu merebak di tengah perjalanan saya menuju Kairo.
Kedua, Momen itu bersamaan dengan hengkangnya Sadio Mane dari Liverpool ke Bayern Munich. Mane adalah sahabat sekaligus pesaing Salah di klub. Sesama pemain asal negara Afrika. Belakangan, gesekan kian tajam karena kedua negara mereka selalu bertemu. Di final Piala Afrika dan menuju kualifikasi Piala Dunia 2022. Baik di partai puncak Piala Afrika maupun play-off World Cup, Mane dan Senegal yang menang.
Di tengah ketatnya pemeriksaan bandara Sharm El Sheikh menuju penerbangan domestik dengan Nile Air ke Mesir, seorang petugas bandara mengajak ngobrol. Mereka bersemangat karena saya memakai hoodie merah bertuliskan ‘Liverpool’.
“Salah, ya dia keren… kemarin dia tanda tangan kontrak baru,” kata seorang pria berseragam biru muda dengan tangan memeragakan orang membubuhkan tanda tangan.
“But, Mane? Ah, Mane go to hell,” tambahnya.
Senang sekali dia. Khas persaingan antar negara Afrika.
Sampai di Kairo, Atef Nafea, guide kami, tak lupa menunjuk sebuah bangunan di kiri bus. Sejak di Taba dan Sharm, Atef sudah tahu saya penggemar Liverpool. Kerap bernyanyi di dekat kupingnya, “Mo Salah, Mo Salah.. running down the wing, Egyptian King…”
Bangunan itu adalah Stadion Kairo National Stadium. Stadion itu berkapasitas 75 ribu orang, diresmikan Presiden Gamal Abd El Nasser pada 1960. Sebelum berkelana ke Eropa main di Bassel, Chelsea, Fiorentina, Roma, dan Liverpool, pria bernama lengkap Mohamed Salah Hamed Mahrous Ghaly itu mengawali karir pro di El Mokawloon, Nasr City, Kairo. Tak salah, jersey timnas Mesir bernama Salah pun dijual di toko busana yang kami singgahi siang itu. Bagian dari rute yang diatur local guide mampir ke toko-toko lokal.
Kegigihan orang Mesir bermain bola juga terlihat kala bus baru saja meninggalkan Israel melewati padang gurun. Di daerah setandus dan sepanas itu, saya melihat sebuah stadion. Ada penerangan lampu cukup besar, tapi tak ada rumput di lapangannya.
“Sudah biasa, Suku Bedouine bermain bola seperti itu. Tak ada rumput, tak jadi masalah,” kata Atef.
Hahahaha… Selamat menikmati kejayaan Mo Salah, ya orang Mesir. Beliau sudah 30 tahun, tapi sampai 30 tahun mendatang, belum tentu ada pesepakbola sehebat dia dari negeri yang dijuluki Ummuddunya alias pusat peradaban dunia pertama itu…