Pertengahan 2022, kami sekeluarga berkesempatan mengunjungi beberapa negara dalam perjalanan ke Tanah Suci. Berikut tulisan berserinya untuk pembaca Majalah Gaharu.
Puji Tuhan, akhirnya kami menjalani peziarahan yang tertunda. Sejak 2018 kami menabung. Lalu menemukan sebuah agen perjalanan. Nitip uang muka. Terjadwal berangkat Juni 2020. Lalu tertunda oleh penyebab yang Anda sudah tahu semua. Pandemi Covid-19.
Tentu ada hikmahnya. Mental spiritual kami lebih siap. Juga fisik. Dua bocah kami kini berusia 14 tahun plus dan 10 tahun plus. Tentu kalau berangkatnya dua tahun lalu, belum setangguh sekarang.
Malam itu, kami berkumpul di Gate Internasional Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Jakarta. Perjalanan pertama terbang menggunakan Emirates Air EK 359 dari Cengkareng ke Dubai selama tujuh jam lebih.
Rute kami total melintasi lima negara. Dari Uni Emirat Arab, Yordania, Israel, Palestina dan nanti balik ke Jakarta lewat Mesir.
Sampai di Dubai pagi hari. Beda waktu tiga jam lebih awal dibanding Waktu Indonesia Barat. Kami didampingi Romo Alfianus Windy Tangkuman dari Manado.
“Kita bersyukur mendarat di Dubai. Hari pertama perjalanan kita bertepatan dengan Hari Raya Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis pada kalender liturgi gereja,” kata Romo Alfian Windy. Bersemangat ia memimpin beberapa lagu pujian.
Dubai merupakan sentra bisnis dan kota terbesar di negara Uni Emirat Arab. Meski bukan jadi ibu kota. Pusat pemerintahan kerajaan yang terdiri dari tujuh keemiran ini terletak di Abu Dhabi, sekitar dua jam jalan tol dari Dubai.
Kami punya waktu empat jam untuk ‘city tour’ di Dubai sebelum lanjut terbang ke Amman.
Dua guide ‘lokal’ menjemput. Seorang bernama Dwi Arika, lelaki muda asal Bandung yang setahun ini tinggal di Dubai. Satu lagi Abid Sahali, Arab brewok akamsi.
“Saya memang mencari dirham di sini,” kata Dwi saat saya tanya apa tujuannya hidup di Dubai. .
Lulusan sebuah sekolah pariwisata di Bandung ini berkisah betapa biaya hidup di Dubai amat tinggi. Untuk kos-kosan partisi seukuran 2 x 1,5 meter ia harus membayar 1200-1500 dirham atau Rp 4-6 juta rupiah per bulan.
“Kalau apartemen full studio sekitar 4-5 ribu dirham sebulan. Ya, 20 jutaan rupiahlah. Padahal kalau di Bandung, uang segitu bisa buat sewa apartemen setahun,” katanya membandingkan.
Dubai tak lebih besar dari Jakarta. Populasinya 4 juta orang. Lumayan padat. Dari jumlah itu, hanya sebelas persen orang lokal.
“Lainnya dari India, Pakistan, Filipina, Srilanka, Bangladesh dan imigran perantau lain. Jadi, orang Arabnya cuma sekitar 600 ribu orang,” terang Dwi. Adapun jumlah WNI hampir mendekati 100 ribu orang, mayoritas bekerja di bidang hospitality atau pariwisata.
Beragamnya penduduk Dubai membuat kota ini menjunjung tinggi toleransi. Jamak ada masjid berdampingan gereja atau pura.
“Pemerintah membebaskan warga menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing,” cerita Dwi.
Check point pertama kami adalah “hotel bintang tujuh” Burj Al Arab, di kawasan Jumeirah.
Hotel bermotif tower kapal ini tarif kamarnya bisa sampai Rp 40 juta per malam. Khusus president suite, pada season tertentu tembus di angka Rp 600 juta per room per night.
“Hotel ini terbuat dari pulau buatan alias reklamasi. Dari lobby sampai kamar presiden suitenya berlapis emas 24 karat. Di atas ada helipadnya,” kata Dwi.
Di tengah sengat matahari hampir 40 derajat Celsius, kami lanjut ke destinasi berikutnya: Dubai Future Museum serta Mall of Dubai yang berdempetan dengan Burj Khalifa.
Oh ya, Burj artinya tower, menara. Kalau hotel tadi namanya Burj Al Arab ya berarti menaranya Arab, jadi Burj Khalifa ya menaranya kalifah.
Dubai selalu membangun sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada di dunia. Kalau pun sudah ada, ya harus lebih. Kala itu, Petronas dianggap menara tertinggi di Asia, maka pada 2004 Dubai mulai membangun Burj Khalifa.
Pencakar langit setinggi 832 meter, 166 lantai dengan 40 lift ini baru kelar pada 2010. Hanya dua lantai yang bisa diinjak wisatawan yaitu lantai 144 dan 146. Sementara lantai-lantai lain merupakan area komesial seperti apartemen, kantor, dan hotel.
Sejak sepekan sebelum berangkat, kami sudah didata apakah berniat naik ke atas Burj Kalifah. Biayanya 60 USD per orang. Hahahaha… jadi jangan sedih ya kalau Borobudur akan ditarifkan Rp 750 ribu untuk naik stupa. Percayalah, Burj Khalifa lebih mahal dari Borobudur.
“Jalanan Dubai dulu tidak seperti ini. Di mana-mana gurun. Semua berubah saat 1970-an ditemukan ladang minyak pertama di sini,” ungkap Dwi saat bus melintas Sheikh Zayed Road.
Tapi, pemerintah Dubai tak terlena. Mereka sadar, minyak empat miliar barel itu suatu saat akan habis. Jauh dari emas biru yang dimiliki Arab Saudi, Irak, atau Oman. Maka, mereka pun mengembangkan potensi lain.
“Di Dubai, minyak hanya jadi sektor penyumbang devisa peringkat ketujuh. Di atasnya ada properti, perdagangan, pariwisata…” jelas Dwi lagi.
Bukan berarti tak ada susah di sana. Tapi pemerintahan kerajaan kan amat terkontrol. Harga BBM fluktuatif. Pekan ini, per liter 4 dirham alias Rp 16 ribu.
“Bulan lalu masih 2,5 dirham per liter,” kata Dwi.
Minyak goreng juga tak kalah mahal. Bisa dua kali lipat dari harga migor di tanah air. Selain itu, krisis ekonomi membuat pajak diketatkan.
Ah, hanya empat jam belanja mata di Dubai. Saatnya kembali ke DXB, bandara megah itu, melanjutkan perjalanan ke Yordan sebelum nanti nyambung ke Israel.
Salam berkah dari kota penuh inspirasi, yang juga mahal, serba ter dan wah, sembari terus mendoakan, mensyukuri, dan bersukacita atas tanah air kita. Indonesia.
Jojo Raharjo, jurnalis dan praktisi public relations
—
Dimuat di Majalah Gaharu edisi Juli 2022