Gaharu Terbaru: Perjalanan ke Tanah Suci: Ziarah, Bukan Plesir

Merasakan tempat-tempat bersejarah di Alkitab. Bukan untuk disombongkan, tapi sarana menguatkan iman dan jadi berkat bagi sesame.

Lebih dari 20 tahun silam, sebagai reporter Radio Salvatore Sonora Surabaya, saya berkesempatan meliput pembekalan jamaah calon haji Kota Surabaya di Masjid Agung Al Akbar, Pagesangan.

Dalam wawancara dengan Wali Kota Surabaya saat itu, mendiang Sunarto Soemoprawiro, saya terkesan saat purnawirawan kolonel baret merah ini berucap, “Haji itu bukan kita yang punya keinginan. Berhaji itu adalah panggilan.”

Kini, saya juga merasakannya. Pada konteks ziarah ke tanah suci atau holyland. Puji Tuhan, inilah peziarahan yang tertunda. Sejak 2018 kami menabung. Lalu menemukan agen perjalanan terpercaya. Nitip uang muka. Terjadwal berangkat Juni 2020. Lalu tertunda oleh penyebab yang Anda sudah tahu semua.

Tentu ada hikmahnya. Mental spiritual kami lebih siap. Juga fisik. Termasuk bagi dua buah hati kami.

Rabu, 22 Juni 2022, kami berkumpul di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Penerbangan menggunakan Emirates Air EK 359 dari Cengkareng ke Dubai pada tengah malam.

Kami ikut paket selama 14 hari. Rutenya: Jakarta-Dubai-Amman. Dari  Yordania, menyeberang perbatasan ke Palestina dan Israel melalui jalan darat. Dari Israel, melintas pakai bus juga ke border Taba, Mesir. Lalu kembali ke Jakarta dari Kairo transit Dubai lagi.

Totalnya ada delapan hotel. Namanya tur, waktu banyak dihabiskan di perjalanan. Setiap hotel rata-rata hanya semalam, kecuali tiga malam di Betlehem dan dua malam di Kairo jelang pulang.

Setelah berkesempatan ‘city tour’ di Dubai selama empat jam, Kamis petang mendarat di Queen Alia Airport, Amman. Masuk bus, kami disambut pemandu wisata lokal, Di dalam bus, sudah ada guide lokal. Namanya Naim Mohammad bin Abu Eid, cas cis cus berbahasa Indonesia dengan aksen Arab.

Kelak, kami bertemu dua pandu wisata lagi, Jeries Farah di Israel dan Atef Nafea di wilayah Mesir. Semuanya lancar menggunakan bahasa Indonesia. Tentu Anda paham, itu karena Indonesia adalah pasar besar di dunia pariwisata. Jangankan pemandu wisata, penjual souvenir pun paham teknik dasar berjualan dalam bahasa Indonesia.

“Selamat datang di Holyland. Jadi, Holyland itu bukan hanya Israel, tapi juga meliputi Yordania, Daerah Otoritas Palestina, Padang Gurun Sinai dan Mesir bagian utara,” jelas Naim.

Di era Perjanjian Lama, ada tiga kerajaan berlokasi di wilayah yang kini dikenal sebagai Yordania. Kerajaan Amon, kini di wilayah Amman, Kerajaan Edom di area Petra, dan Kerjaaan Moab di daerah Dead Sea alias Laut Mati.

Di era Perjanjian Baru, masa kekuasaan Yunani dan Romawi, Yordania dikenal dengan sebutan Filadelfia atau Philadelphia. Phil artinya cinta, Delphia artinya persaudaraan. Brotherly love.

Tiga malam di Yordan. Obyek menarik yang kami singgahi yakni kota batu warisan budaya dunia Petra, Mata Air Musa, hingga mencoba mengapung Laut Mati. Pada kesempatan terakhir, kami berkunjung ke Gunung Nebo, tempat Musa hanya menatap Tanah Perjanjian dari jauh. Tuhan tak mengizinkannya menginjak tanah tak bisa menginjak lahan yang diperjuangkan lewat perjalanan 40 tahun itu.

Sebuah pelajaran berarti bahwa emosi sesaat menghilangkan “hadiah” besar yang seharusnya kita nikmati.

Minggu siang, melintasi perbatasan darat dari Jembatan Besi King Hussein, Bus Mercedez Travego yang menemani kami di Yordania sejak Kamis Malam, mengakhiri tugasnya di border Allenby.

Dari Yordania ke Israel ada tiga perbatasan darat, yakni Terminal Yitzhak Rabin/Perbatasan Wadi Arabia, King Hussein Bridge (Allenby) dan Sungai Yordan atau Perlintasan Sheikh Hussein.

Sukses melalui proses panjang di imigrasi Israel, kami bertukar bus ke Mercedez-Benz Irizar i6. Di sini kami pertama kali bersua Jerries, guide lokal Yahudi yang selain fasih bahasa Indonesia, juga hapal Alkitab di luar kepala.

“Masuk ke Israel sulit sekali ya? Anda mengalami seperti suku-suku Israel. Tapi, bagaimanapun masih lebih baik. Mereka perlu waktu 40 tahun, Anda hanya butuh dua jam,” selorohnya.

Semalam menginap di Nazaret, yang ada di area Israel, dan Betlehem di wilayah Palestina, kami mengunjungi begitu banyak tempat suci. Dari Gereja Padang Gembala, Gereja Kelahiran, rumah masa kecil Maria dan Yesus di Nazaret, rumah asal Ibu Maria di Yerusalem, lokasi mujizat lima roti dua ikan, bukit ucapan bahagia, rumah Petrus di Kapernaum, makan ‘ikan Petrus’ di Danau Galilea, pembaharuan janji baptis di Sungai Yordan dan pembaharuan janji nikah di Kana.

Kami juga berziarah ke gereja tempat doa Bapa Kami diajarkan, Taman Getsemani, Bukit Zaitun, lokasi Perjamuan Terakhir, Makam Daud, Gereja Petrus Menyangkal, tempat pengadilan dan penyiksaan Yesus, Tembok Ratapan, Pohon Ara Zakheus, bendungan raksasa Kaisarea, hingga menjalankan prosesi ‘Jalan Sengsara’ di lokasi sebenarnya. Bukit Golgota yang kini jadi gereja.

Kerap muncul pertanyaan, bagaimana situasi di sana? Terutama terkait tensi konflik Israel dan Palestina. Jawabannya: aman-aman saja. Tiga malam kami menginap di wilayah Palestina dan semua baik-baik saja. Tepatnya di Saint Joseph Hotel, Betlehem.

Wilayah Palestina terbagi menjadi dua entitas politik, yaitu Wilayah Pendudukan Israel dan Otoritas Nasional Palestina. Daerah itu meliputi Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan dan, hingga tahun 1982, Semenanjung Sinai. Kota-kota yang ternama di Palestina yakni Betlehem, Yerikho, dan Gaza.

Adapun status Yerusalem masih menjadi sengketa kedua pihak. Palestina menyatakan beribukota di Yerusalem Timur, dengan pusat pemerintahan di Ramallah, Tepi Barat. Sementara Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan era Donald Trump memindahkan kedubesnya dari Tel Aviv ke ‘Kota Daud’.

Selama empat hari tiga malam tidur di Palestina, bus kami selalu melewati pos lintas batas Betlehem ke dan dari arah Yerusalem. Semua fine fine saja. Tak ada pemeriksaan macam-macam. Bak lewat portal kampung Anda itu lho….

Saat masuk ke Mesir, kami berhenti di lokasi yang diyakini sebagai Tiang Garam Isteri Lot, Gunung Sinai tempat turunnya dua loh batu 10 Perintah Allah, Sungai Nil serta gereja tempat pengungsian Yusuf, Maria dan bayi Yesus.

Di sela begitu padatnya perjalanan itu, di salah satu tempat kudus yang kami singgahi di Yerusalem, ada sebuah stiker bertuliskan,

“If you enter here as a tourist, you would exit as a pilgrim.
If you enter here as a pilgrim, you would exit as a holier one.”

Tahu kan bedanya antara turis dan peziarah?

Wisatawan sibuk foto-foto, makan, beli souvenir. Peziarah sibuk berdoa.

Kalau ditanya, mana lokasi yang paling berkesan? Tentu saja semua berkesan. Inti perjalanan tentu bisa merasakan langsung ‘Via Dolorosa’ memanggul salib seperti Yesus. Tapi, jangan lupakan juga perjalanannya sejak terusir ke Mesir, hingga mengadakan mujizat air jadi anggur yang sebenarnya belum saatnya Ia beraksi.

Perjalanan ziarah bukan untuk disombongkan. Ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan. Murni karena Kasih Karunia. Kan parameternya tiga: waktu, kekuatan, dan dana.

Ada orang yang punya waktu, punya kemampuan fisik, tapi tak ada budget.

Ada anak Tuhan yang punya dana, kuat, tapi merasa tak ada waktu.

Ada juga yang memiliki waktu serta dana lebih, tapi secara fisik tak kuat pergi jauh.

Jika Anda merasa panggilan itu ada, doakan. Dan percayalah. Ia yang Maha Murah akan memberi kesempatan itu.

Sekali lagi, bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk menguatkan serta memantapkan iman. Agar kita benar-benar percaya pada kelahiran, kematian, kebangkitan dan mujizat-mujizatNya. Selanjutnya, bagikan berkat itu bagi sesama.

Seperti lagu yang saya dengar dalam arak-arakan di Tembok Ratapan, Yerusalem,

“Havenu Shalom Alechem, Kubawa Berita Sejahtera…”

Dimuat di Majalah Berkat, Agustus 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published.