Yordania, Pintu Pertama Holyland

Di Yordania selama empat hari tiga malam, ada beberapa tempat menarik kami kunjungi.

Penerbangan kami dari Jakarta ke Dubai selama tujuh jam berlanjut dengan flight tiga jam Emirates Air dari Dubai International Airport menuju Queen Alia Airport di Amman, ibu kota Yordania.  

Setelah acara menunggu koper yang memakan waktu sejam lebih di Queen Alia Airport, kami menuju bus Mercedez Travego, berkapasitas 52 orang yang menemani selama peziarahan di Yordania.

Di dalam bus, sudah ada guide lokal. Namanya Naim Mohammad bin Abu Eid, cas cis cus berbahasa Indonesia dengan aksen Arab.

“Selamat datang di Holyland. Jadi, Holyland itu bukan hanya Israel, tapi juga meliputi Yordania, Daerah Otoritas Palestina, Padang Gurun Sinai dan Mesir bagian utara,” jelasnya.

Panjang lebar Naim mendeskripsikan negaranya. Nama resmi yang tertempel di entry visa saya: HKJ alias Hashemite Kingdom of Jordan.

Sebanyak 92 persen warga Yordania memeluk agama Islam, dan 8 persen lain Kristiani.

“Di wilayah Holyland, dua gereja terbesarnya yakni Orthodox Yunani dan Katolik,” katanya.

Di era Perjanjian Lama, ada tiga kerajaan berlokasi di wilayah yang kini dikenal sebagai Yordania. Kerajaan Amon, kini di wilayah Amman, Kerajaan Edom di area Petra dan Kerjaaan Moab di daerah Dead Sea alias Laut Mati.

Di era Perjanjian Baru, masa kekuasaan Yunani dan Romawi, Yordania dikenal dengan sebutan Filadelfia atau Philadelphia. Phil artinya cinta, Delphia artinya persaudaraan. Brotherly love.

Yordania kini dipimpin Abdu’llah II bin al-Hussein al Hashimi, Raja Kerajaan Hasyimiyah Yordania sejak 7 Februari 1999.

Abdullah, sahabat dekat Prabowo Subianto, merupakan putra langsung Raja Hussein dengan Putri Muna al-Hussein, terlahir Antoinette Avril Gardiner.

Petra, Keajaiban Dunia Kota Terhilang

Di Yordania, tak lupa kami kunjungi Petra, destinasi wisata nomor satu negeri ini. 

Dari Amman, kami melintasi King’s Highway atau Jalan Raja Raja, yang disebut di kitab Perjanjian Lama. Tepatnya Kitab Kejadian dan Bilangan. Ini merupakan rute Musa membawa orang Israel berjalan dari Mesir ke Kanaan. Saat itu dikisahkan Nabi Musa harus minta izin ke Raja Edom dan Amori.

Panjang jalan ini 650 km dari Aqaba, Laut Merah hingga Midian, tempat Musa bersembunyi di masa mudanya usai membunuh seorang pria Mesir.

Di tengah perjalanan, kami singgah ke Midway Castle, toko cinderamata yang menawarkan berbagai souvenir seperti hiasan dinding, lampu-lampu, pecah belah, topi, syal dan kafiyeh hingga perhiasan khas Timur Tengah.

Salah satu pegawainya bernama Zulkarnain, mahasiswa asal Medan. Harga barang di sini disamakan baik dalam dolar maupun dinar.

“Saya harus berjibaku untuk memenuhi kebutuhan hidup di sini,” katanya.

Pun di arah pulang keesokan harinya kami singgah di toko souvenir lain, namanya “Pilllars of Jerusalem”. Di sini juga ada karyawan asal Indonesia, namanya Adil, berdarah Bugis.

“Saya kuliah di Mu’tah University. Ambil jurusan Islamic Law. Syariah,” ungkapnya.

Petra merupakan kota batu tua, salah satu dari tujuh keajaiban dunia. batu-batu ini diukir dengan estetika seni tingkat dewa oleh Nabateans, Suku Nabath, yakni pedagang-pedagang Arab yang bermukim di sini dua ribu tahun silam.

Karya seni terindah di Petra disebut ‘Treasury Monument’ atau Al-Khazna. Tinggginya sekitar 150 kaki dan lebar 110 kaki. Lokasi ini jadi latar film ‘Indiana Jones and The Last Crusade (1989). Sebagian meyakini lokasi ini adalah kuburan Raja Nabatean, namun ada juga yang percaya Al-Khazna adalah kuil atau tempat untuk menyimpan barang berharga.

Mengapung di Laut Mati

Setelah menginap di Hotel Petra Canyon, kami mampir sejenak di lokasi bersejarah. Inilah Mata Air Musa alias Uyun Musa alias Sumur Musa, di daerah Madaba. Mata air ini mengaliri Wadi (Lembah) Musa hingga kampung batu raksasa Petra.

Di sini dipercaya sebagai tempat Musa memukul tongkatnya, dengan kuasa Tuhan, mengubah batu jadi air. Kala itu, dua juta umat Israel yang dipimpinnya keluar dari Mesir mengeluh dehidrasi.

Bangunan itu mirip mushalla. Ada tulisan bahasa Arab di dinding. Aliran airnya jernih, menggoda kami mencuci muka atau sekadar membasuh tangan. Bahkan, ada batu besar berdiri di samping mata air. Saya turun sebentar membasuh muka.  

Meneruskan perjalanan, tiga jam kemudian kami tiba di kawasan Laut Mati. 

“Namanya Laut Mati. Saya tidak tahu siapa yang membunuhnya,” seloroh Joppy Taroreh, tour leader kami.

Yang benar, lokasi itu diberi nama Laut Mati karena tak ada flora fauna hidup di dalamnya. Pasti mati dikepung air rasa asin seluas itu.

Laut Mati adalah titik terendah di Bumi, sekitar 430,5 meter (1412 kaki) di bawah permukaan laut. Laut Mati merupakan danau hipersalin (sangat asin) yang merupakan salah satu keajaiban alam.

Jam 5 sore, diterpa mentari 34 derajat celsius, kami menuju pantai Laut Mati yang ada di area properti belakang hotel. Dimulailah prosesi mengapung di laut dengan kadar garam tertinggi, pada titik terendah di bumi.

Saya yang dasarnya tak bisa berenang, tak perlu khawatir. Jongkok dan mengambanglah menghadap ke atas. Tegas kami diperingatkan  untuk tidak menelungkup dan jangan sampai air laut asin masuk ke mata atau mulut. Wis, pokoknya bahaya. Beberapa bule terlihat mengambil lumpur nan kaya mineral dan memoles-moleskannya ke tubuh. Katanya baik bagi kesehatan.

“Jangan lama-lama ya. Maksimal 15 menit. Kalau kelamaan nanti Anda jadi telor asin,” kata Joppy memberi warning. Pemandu wisata kami berusia 70 tahun ini sudah 62 kali pergi ke Israel dan negara-negara sekitarnya.

Dimuat di Majalah Gaharu, September 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published.