Bagi orang Indonesia, ada beberapa cara masuk Israel. Kami memilih melalui perjalanan darat dari Yordania.
Sudah mafhum, kita tak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Sikap politik Israel yang belum memberi kemerdekaan bagi Palestina adalah sebabnya. Karena tak punya relasi resmi antar negara dengan Israel, maka ada beberapa jalan bagi Warga Negara Indonesia untuk menginjak ‘Negeri Bintang Daud’ itu. Ada penerbangan langsung Dubai ke Tel. Aviv. Atau terbang lewat negara lain, seperti Belanda.
Untuk perjalanan darat, bisa lewat border Yordania. Bisa pula dari Mesir. Pada peziarahan baru-baru ini, kami mengetuk pintu Israel melalui perjalanan bus dari Laut Mati.
Minggu siang itu, Bus Mercedez Travego yang menemani kami di Yordania, mengakhiri tugasnya. Melintasi Jembatan Besi King Hussein, kami masuk lewat border Allenby.
Nama perbatasan Allenby diambil dari nama Jenderal Inggris yang membangun jembatan lintas negara antara Yordania dan Tepi Barat. Edmund Henry Gynman Allenby menjadi tentara Inggris hingga memegang jabatan Gubernur Imperial pada era Perang Dunia Pertama.

Memimpin pasukan Egyptian Expeditionary Force (EEF), Allenby menaklukkan Palestina yang dikuasai Kerajaan Ottoman, Turki. Selanjutnya, ia mengambil alih Beersheba, Jaffa, dan Yeruselam, dari Oktober hingga Desember 1917.
Dari Yordania ke Israel ada tiga perbatasan darat, yakni Terminal Yitzhak Rabin/Perbatasan Wadi Arabia, King Hussein Bridge (Allenby) dan Sungai Yordan atau Perlintasan Sheikh Hussein.
Saat mendengar saya mau ke Israel, seorang sahabat berkata, “Cerita masuk Israel dan nggak dicap itu selalu seru buat diceritakan.”

Memang di paspor tak ada stempel visa Israel. Tapi di Imigrasi Allenby kami dapat semacam struk kecil, dengan foto wajah, lengkap tertera masa berlaku di ‘Negeri Bintang Daud’ itu.
Nyaris tak ada senyum di wajah petugas imigrasi Israel saat memasukkan koper kami ke ban berjalan tempat detektor barang. Pun saat menuju pintu imigrasi, ada aja wajah-wajah emak-emak lokal menyerobot tak mau antre.
Syukurlah, tak ada masalah. Pukul 13 kami keluar dari Gedung Imigrasi Allenby. Seorang guide lokal sudah menanti. Namanya Jerries Farah. Laki-laki antropolog dan juga pakar Kitab Suci. Bahasa Indonesia josss bener.
“Silakan, tunggu di sini. Busnya yang akan datang ke mari,” teriaknya.
Begitu masuk bus Mercedez-Benz Irizar i6, Jerries ngoceh lagi. Menghibur kami yang siang-siang penat bercampur lapar mengurus barang bawaan dan izin masuk.
“Masuk ke Israel sulit sekali ya? Anda mengalami seperti suku-suku Israel. Tapi, bagaimanapun masih lebih baik. Mereka perlu waktu 40 tahun, Anda hanya butuh dua jam,” selorohnya.
Bus berjalan meninggalkan perbatasan. Kiri kanan banyak pohon cemara, kurma, palem, zaitun, juga anggur yang ditutup semacam jaring. Kering, tapi subur banget.
Nampak Sungai Yordan di kanan bus, Jerries bercerita tentang muiizat saat Yosua memimpin bangsa Israel masuk Tanah Perjanjian.
Sungai Yordan terkenal punya aliran air sangat deras. Tapi begitu Tabut Perjanjian di barisan terdepqn Israel menyentuh air, arus kencang berhenti. Demikian terjadi sampai dua juta orang menyeberang Yordan.
“Musa melakukan mujizat membelah Laut Merah. Yosua, penerusnya, menyeberangkan umat Israel lewat Sungai Yordan,” jelasnya.
Sungai Yordan di Tepi Barat masuk wilayah Daerah Otoritas Palestina. Kita tahu, Israel merdeka dari jajahan Inggris pada 1948.
“Hingga 1967, kawasan ini dijajah Yordania. Lalu Israel dapat Tepi Barat setelah memenangkan Perang Enam Hari melawan Mesir, Yordania, dan Suriah. Pada 1993, pelan-pelan Israel mundur dari Tepi Barat,” urainya.
Melewati Gilgal dan Ai yang disebut dalam Kitab Yosua, tempat suku Israel mengumpulkan 12 batu dari Yordan usai menang perang masuk ‘Land of Promise’. Juga Beit She’an tempat tewasnya Saul dan tiga puteranya. Tetiba kami berhenti di sebuah pos.
Rupanya, kami hendak melintasi batas akhir Tepi Barat Palestina.
Jerries memberi arahan. “Nanti tenang saja kalau ada dua tentara Palestina masuk bus. Atau mengecek random barang bawaan,” jelasnya.
Pikiran saya melayang saat awal 2005, sebagai jurnalis Tempo, pulang liputan tsunami dari Aceh. Sulit mencari penerbangan dari Bandara Sultan Iskandar Muda, saya memutuskan naik bus dari Banda Aceh ke Medan.
Tengah malam, ada dua TNI masuk bus, mengecek KTP penumpang. Saat itu ada istilah ‘KTP Merah Putih’ bagi warga Aceh.
Ah, ternyata kami beruntung. Tak ada tentara Palestina sampai masuk bus. Rombongan melaju lancar lewati check point.

“Selamat datang di Israel. Ini baru benar-benar resmi Israel,” sambut Jerries.
Penduduk Israel sekitar 10 juta. Mayoritas, 8 juta, orang Yahudi dan dua juta sisanya Arab. Karena itu, di setiap penunjuk jalan ada tiga bahasa.
“Paling atas Bahasa Ibrani, lalu Arab baru Bahasa Inggris,” kata Jeries.
Jerries juga mengarahkan jarinya saat bus melewati perkampungan Arab.
“Di sana itu perkampungan Arab. Warga Negara Israel. Penduduknya ada yang Arab Islam, ada pula Arab Kristen. Dan mereka sangat rukun. Sebagaimana juga toleransi di wilayah-wilayah Israel lainnya,” urai Jerris.
Dimuat di Majalah Gaharu, September – Oktober 2022