Bagaimana Ekonomi Kita?

Perbincangan singkat dengan driver ojol. Keluh kesah orang kecil.

Dalam perjalanan berangkat kerja hari ini, dari rumah ke Halte TransJakarta Puri Beta, Tangerang, driver online, namanya Taufik Chan bertanya,

“Menurut Bapak, bagaimana kondisi ekonomi saat ini?”

Saya tentu saja tidak mau menggurui. Saya tak mau ada kesan ketimpangan di antara dua pihak.

“Saya percaya, tidak ada pemerintah yang berniat buruk terhadap rakyatnya,” jawab saya.

Selanjutnya, saya ajak ia untuk tetap optimistis dan berpikir positif.

“Keadaan memang sulit, Pak. Kondisi perang, naiknya harga minyak, dan lain-lain, datang bertubi-tubi pascapandemi Covid-19.

Tapi, semuanya kembali ke kita. Kalau kita berpikir positif, yang baik-baik saja, rezeki pasti akan ada. Kita bersyukur dan terus bekerja saja. Bayangkan kondisi saat ini, tentu lebih baik dari dua tahun lalu saat awal-awal pandemi, kan?

Kondisi seperti ini tak hanya dialami Indonesia. Tapi ya itu tadi, kok saya tidak yakin pemerintah ini berpikir untuk berbuat jahat pada rakyatnya.”

Taufik berpikir sejenak, lalu ia mengakhiri, saat itu perjalanan 10 menit kami sudah hampir sampai Halte TransJakarta PurBet, tempat saya bersiap melanjutkan perjalanan ke arah Menteng, Jakarta Pusat.

“Jadi, semua itu kembali ke kita, ya, Pak?” tanyanya.

Saya tersenyum. Mengalungkan sedikit tips, lalu kembali bergerak menuju ibu kota.

Dan siang ini, kita baca kondisi di Eropa ternyata lebih parah. Simaklah di sini dan di sini.

Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Inggris menceritakan mahalnya biaya hidup di sana saat ini. Hampir semua harga komoditas meroket imbas pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina.

Dilansir detikFinance, Senin (26/9/2022), Dyah (39) yang tinggal di London mengatakan harga makanan dan minuman sudah naik sekitar 12,6%. Misalnya harga susu 1,55 pound sterling atau Rp 25.299 tergantung merek, keju British Mature Cheddar 6 pound sterling atau Rp 97.932/kg, mentega rata-rata 3,18 pound sterling atau Rp 51.903/pack, dan tepung terigu sekitar 2,05 pound sterling atau Rp 33.460/kg (kurs Rp 16.322).

“Sejak pandemi COVID-19 mulai Maret 2020 dan kemudian invasi Rusia ke Ukraina, situasi Inggris banyak mengalami perubahan. Biaya hidup di Inggris Raya meningkat sangat signifikan,” kata Dyah saat dihubungi detikcom, Minggu

 Eva mengatakan harus menghemat pengeluaran untuk makan hingga jalan-jalan atau hiburan untuk bertahan hidup di tengah krisis Inggris. Sebagai penerima beasiswa, pemasukan utamanya adalah berasal dari uang beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

“Strategi untuk bertahan hidupnya sama seperti di Indonesia, bagaimana kalau kita merantau kita menghemat pengeluaran untuk makan, konsumsi seperti pakaian atau hiburan, atau soal barang-barang tersier lainnya,” kata Eva.

Tak hanya bagi perantau. Bagi warga lokal, krisis pun terasa. Kepala Sekolah di seluruh Inggris melaporkan anak-anak kelaparan hingga rela mengunyah karet. Tidak sedikit dari mereka memilih ke taman bermain saat jam makan siang karena tidak mampu membeli makan.

Banyak sekolah di Inggris sudah melihat tingkatan kasus memilukan pada anak-anak yang kelaparan. Satu sekolah di Lewisham, London Tenggara, memberi tahu ada anak yang berpura-pura makan dari kotak makan kosong karena tidak ingin teman-temannya tahu bahwa tidak ada makanan di rumahnya.

“Kami mendengar tentang anak-anak yang sangat lapar sehingga mereka makan karet di sekolah. Anak-anak datang belum makan apa pun sejak makan siang sehari sebelumnya. Pemerintah harus melakukan sesuatu,” kata Kepala Eksekutif Chefs in Schools, Naomi Duncan dikutip dari The Guardian, Senin (26/9/2022).

Jadi, hidup itu sawang sinawang. Jangan mengeluh. Ayo optimistis dan terus bergerak…

Leave a Reply

Your email address will not be published.