Kembali ke Makassar. Yang dulu sangat sering saya kunjungi.
Ada suatu masa di mana saya sering sekali ke Makassar. Tugas Kantor Staf Presiden. Ngisi pelatihan kehumasan. Liputan balap motor. Uji kompetensi jurnalis. Mengisi acara ‘Celebes Berdoa’, yang bertepatan dengan goyangan Gempa Palu. Juga beberapa kali hanya numpang lewat transit di Bandara Sultan Hasanuddin nan megah itu. Dari Papua. Juga dari Ambon.
Satu guyon yang kerap saya ceritakan berulang-ulang adalah, kala mengenang kisah pesan ojek online di Makassar. Belum bertemu dengan sang driver, lalu ia telpon, “Hei, kita ada di mana?”
Saya bengong. Belum ketemu kok bilang kita? Ternyata, kita adalah ucapan yang halus dalam dialek Bugis untuk menyebut ‘kamu’. Anda.
Setelah sekian lama, kini kembali lagi ke ‘Kota Daeng’. Mengawal acara sosialisasi Perpres baru Program Kartu Prakerja. Peraturan Presiden nomor 113/2022. Acaranya di Hotel The Rinra, kawasan Tanjung Bunga. Ini hotel milik Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian yang dua periode jadi Gubernur Sulawesi Selatan.
Nama hotel ini dipersembahkannya untuk mengenang sang putera, Rinra Sujiwa Syahrul Putra, yang meninggal dunia pada 2011 saat menjalani pendidikan di Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN), Bandung.
Syahrul Yasin Limpo, yang akrab dengan sapaan ‘komandan’, pula yang mendirikan monument ‘Centre Point of Indonesia’. Padahal, masak sih titik pusat Indonesia ada di Sulsel? Eh coba cek peta lagi. Benar, tidak? Itu ilmiah? Atau hanya bikin branding di kawasan reklamasi Makassar?
Triubun Makassar menulis, saat itu Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengklaim, Makassar sebagai poros tengah Indonesia. Atas dasar itu pula, sebuah delta di Pantai Losari dinamai Centre Point of Indonesia.
Kelak, kawasan itu akan menjadi salah satu ikon baru di Makassar. Akan didirikan bangunan-bangunan megah, perumahan, hotel, masjid megah, serta tak lupa Wisma Negara yang akan menjadi kebanggaan masyarakat Sulsel.
Namun, menurut pemberitaan ini, sebenarnya Centre Point of Indonesia yang sebenarnya ada di Dusun Umpunggeng sebuah dusun terpencil di Kabupaten Soppeng, kurang lebih 192 km dari Kota Makassar. Hahaha,, unik ya? Awalnya, saya kira titik pusar Indonesia itu ada di Kalimantan.
Di Hotel Rinra tadi, saya berpose di Patung Liberty. Setelah saya amati, kok paras di patung ini khas wajah orang Bugis Makassar ya, hahahaha…
Memang acaranya di Rinra, tapi saya menginap di Hotel Gammara. Sama-sama berada di kawasan Tanjung Bunga. Ini kali ketiga saya menginap di sini. Termasuk saat lindu besar mengguncang Sulawesi Tengah September 2018, saya ada di kamar Gammara.
Senang juga bertemu dengan Reynold Stefano, General Manager Hotel Gammara. Anak muda lincah. Sudah menjelajah berbagai hotel. Pernah hidup dan studi di Eropa dan Amerika.
“Jangan lupa, kontak-kontak kalau ke Makassar lagi,” kata Stefano, ditemani sahabat saya lainnya, Hendra Nick Arthur, jurnalis dan aktivis pariwisata Sulsel.
Kami bercerita lepas. Juga kenangan saat Presiden Jokowi menginap tiga hari dua malam, Desember 2018. Stefano bersyukur, denyut pariwisata Sulsel mulai pulih. Meski, 10 Destinasi Wisata Bali Baru sama sekali tak mencolek spot di provinsi berpenduduk 9,1 juta jiwa yang pertumbuhan ekonominya kerap mengalahkan rerata angka nasional.
Kunjungan lain ke Makassar kali ini, yakni ke Kedai Kopi Hai Hong. Disebut sebagai salah satu tempat ngopi tertua di sini. Hai Hong adalah kedai kopi tua yang berada di daerah Pecinan kota Makassar. Saya datang ke cabangnya yang di Jalan Pelita Raya, Balla Parang, Rappocini.
Selain kopi, pesanlah makanan khas Makassar seperti barongko. Terbuat dari pisang yang dihaluskan, telur, santan, gula pasir, dan garam. Kemudian dibungkus daun pisang lalu dikukus. Barongko lebih nikmat disajikan dingin. Ada juga sukun goreng yang kriuknya khas. Di sini saya bertemu rekan-rekan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia. Albert Palangda, Alnores Desembri, Fritz Wongkar, dan Carolina Christina.
Di Makassar pula saya kembali berkunjung ke Coto Gagak. Mengenang kebersamaan malam-malam dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, empat tahun silam.
Rumah makan khas ini buka 24 jam, menyuguhkan kuliner istimewa dari daerah ini. Sop sapi berisi lemak, hati, jantung, daging. Aiiiih…
Sebagaimana perjalanan kemarin ke Sintang, Bontang, dan Lampung, saya menengok stadion legendaris di setiap kota. Stadion Andi Mattalatta Mattoangin. Sayang, stadion ini sudah dirubuhkan. Pembangunannya kembali masih terbengkalai. Gubernur Limpo merencanakan stadion baru Barombong, tapi penggantinya Nurdin Abdullah justru mau menghidupkan kembali Mattoangin.
Pasca Nurdin ditangkap KPK, kendali pemerintahan di Sulsel secara otomatis berpindah tangan, dilanjutkan oleh Wagub Andi Sudirman Sulaiman sebagai Pelaksana Tugas. Lain belimbing Semarang, lain rendang Padang, lain orang, lain pula gaya kepemimpinan dan kebijakannya. Konsep menghidupkan kembali Mattoangin pun mentah.
Klub legenda PSM Makassar berstatus ‘kesebelasan tunawisma’, klub legenda tanpa lapangan latihan dan tanding yang representatif. Mereka terusir ke ‘Kota Cinta’ Parepare, asal presiden ketiga Indonesia BJ Habibie.
Di Mattoangin saya menyaksikan bekas kejayaan stadion itu. Anak kecil bermain bola tanpa rumput dan gawang standar. Ada pula penjual jersey yang berkurang jauh pemasukannya dibanding kala ‘Pasukan Ramang’ berkandang di sana.
“Dulu, saat PSM main di Mattoangin, kawasan ini penuh dengan motor. Sekarang, betapa jatuh pendapatan penduduk sekitar stadion,” kata sahabat saya Fritz Wongkar dari Kabar Makassar.
Sampai jumpa, Makassar. Kurru Sumange, tarima kasi boleh pulang sejenak ke mari. Semoga lekas bangkit, terutama PSM yang sekarang justru moncer tanpa stadion permanen. God Bless you. Semangat Ewako, Mi. Berjuang tanpa kenal menyerah!