Setelah sempat tertunda, jadi juga peluncuran buku alumni International Visitor Leadership Program (IVLP) sebagai refleksi pandemi.
Buku itu diluncurkan di at America, Pacific Place, SCBD. Sebuah space event yang memang diperuntukkan bagi komunitas pencinta Amerika. Dimiliki atau disewa oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Dikemas dalam bentuk talk show. Diskusi. Beberapa tokoh tampil sebagai narasumber. Ada Yusuf Daud, spiritualis dari Surabaya. Juga Wahyu Susilo yang aktivis pejuang pekerja migran. Saya sih sengaja tak mau tampil di depan. Saatnya lainnya lah.
Di buku ini, saya menulis kisah tentang bagaimana kegagapan mengjadapi krisis komunikasi saat pandemi. Judulnya: Jatuh Bangun Kehumasan Pemerintahan Melawan Wabah Seratus Tahunan
Saya mengawali leadnya begini..
Susah benar jadi pemerintah di era pagebluk Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) ini. Apa saja yang diperbuatnya seolah salah. Padahal, seharusnya bencana nasional ini menjadi panggung bersama dari para politisi hingga rakyat jelata untuk bersatu. Menyisihkan segala bentuk perbedaan politik, maupun sekat-sekat perbedaan dari Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan juga Pilpres 2019 lalu.
Lihatlah pesan dari telepon pintar yang saya terima ini:
SEMUA SALAH
Tak ada keputusan yang benar di masa pandemi:
- Mall ditutup, Masjid dibuka
Rezim sengaja ingin bunuh umat Islam dengan membiarkan mereka tetap beribadah di masjid padahal berisiko besar.
- Mall dibuka, Masjid ditutup
Rezim komunis, melarang orang menjalankan ibadah tapi membiarkan orang berbelanja
- Mall ditutup, Masjid ditutup
Rezim goblok, ekonomi hancur, barang konsumer susah didapat, harga-harga naik, pengangguran meningkat
- Penerapan PSBB
Rezim goblok, rakyat dibikin susah cari makan, harga sembako naik
- Penerapan New Normal
Rezim goblok, terlalu sembrono dan mengabaikan risiko penyebaran Covid-19
- Datangkan vaksin dari China
Rezim goblok, tidak bisa bikin vaksin sendiri
- Riset produksi vaksin
Rezim goblok, memangnya bikin vaksin itu gampang
Tentu saja posting di atas tidak mewakili sebagian -apalagi mayoritas- masyarakat Indonesia. Tapi tetap saja, jika ada satu atau dua orang berkomentar seperti itu, apalagi kemudian dishare kepada banyak teman, menimbulkan keprihatinan mendalam.
Tapi memang harus diakui, kehumasan pemerintah bekerja sangat keras menghadapi ‘outbreak’ atau wabah besar yang konon terjadi berkisar 100 tahun sekali ini. Selanjutnya bercerita tentang talk show Mata Najwa, sampai kisah Menteri Kesehatan (saat iti) Dokter Terawan Agus Putranto yang terpinggirkan.
Selengkapnya, baca aja di bukunya hehehe…