Buku ini mengajar bagaimana menulis secara deskriptif. Meski mungkin tak ada bolpoin, alat perekam, atau hape dengan perekam suara dan video.
Akhir Desember 2022, saat Jakarta diramal mengalami badai besar, mendadak saya dapat undangan peluncuran buku ini. Saya memutuskan hadir. Rute MRT, lanjut ojek motor dan menerabas hujan lebat. Meski tak sengeri prediksi BMKG dan BRIN itu.
Datang di lokasi, saya mendengar kisah behind the story Arif Zulkifli, eks pemred Majalah Tempo, dimoderatori Bagja Hidayat. Sahabat dan juga kawan sealmamater. Bedanya, mereka masih di perguruan itu. Terus menghadirkan tulisan-tulisan kritis, detail, dan sastrawi.
Sebagai moderator, Bagja berkisah tentang reportasenya membongkar kasus aborsi di sebuah jalan yang amat ternama di Jakarta Pusat. Termasuk menggunakan metodologi menyamar sebagai calon pasien.
“Jurnalisme itu dahsyat, lho, kita harus kreatif,” kata Bagja.
Bukunya seharga Rp 131 ribu. Setebal 350 halaman. Seperti sub judulnya ‘Reportase dalam Catatan Perjalanan’, berisi kisah-kisah di balik layar mas Azul, lulusan Komunikasi UI, menjelajah berbagai spot.
Di Stockholm, Swedia, bertemu Hasan Tiro, di Pulau Buru menapaktilas kisah tahanan politik yang dituduh berafiliasi PKI, ke Wina untuk pertemuan Badan PBB Antikorupsi, ke kamar mayat RSCM mengecek mayat Marimutu Manimaren yang berdampingan dengan rakyat jelata korban tabrak lari, mengunjungi anaknya kuliah di Amerika, serta petualangan lain di Tiongkok, Manila, Jerman, Inggris, Aceh hingga Papua.
“Jurnalisme pada akhirnya adalah ikhtiar untuk berbagi. Lewat reportase, ikhtiar itu diwujudkan melalui karya jurnalistik yang diharapkan mengendap dan menjadi sedimen. Lewat liputan perjaoanan, pembaca diajak bertamasya menjelajahi tempat-tempat baru,” ungkap Azul dalam buku itu.
Seingat saya, baru di dua karakter saya membaca deskripsi tentang tempat, waktu, dan suasana. Di tulisan-tulisan mas Azul ini, dan juga di kumpulan cerita almarhum Hilman Hariwijaya dengan Lupusnya. So detail. Seolah kita benar-benar ditarik ke lokasi tempat pencerita berada.
Jurnalisme di luar Algoritma, mengajarkan kita untuk kembali pada pendekatan jurnalisme lama: reportase. Melihat, mendengar, menyentuh, mengecap, dan menghidu. Tak semata memainkan kata kunci sesuai kaidah mesin pencari. Makin cepat berita disajikan, makin dianggap unggul media itu. Padahal, praktik seperti itu bisa mengarah lancing: berita sensasional, berita bohong, dan berita pengait klik, sebagai contohnya.
Azul berpendapat, digitalisasi media itu bagus “Clickbait dan lain-lain hanya efek. Dengan digitalisasi, kita bisa menikmati demokratisasi. Koran Tempo dan Republika, yang kini tak beredar versi cetak, bisa dinikmati di seluruh dunia pada waktu yang sama,” ungkapnya.
Tinggal bagaimana, lanjut Azul, media-media itu punya sistem yang baik, khususnya memperlakukan algoritma dalam sistem ‘traffic’ itu.
Ia menerangkan sebuah trik mengelola media online. Salah satu di antaranya, bikin tulisan dengan dua judul. Yang satu, judul yang bersahahat dengan SEO (Search Engine Optimization), dan satu lagi judul biasa. “Misalnya, judul dengan kata Jokowi selalu menarik orang untuk dibaca. Tapi, jadi kering kalau kita bekerja hanya berdasarkan perintah kantor untuk ‘menuruti’ algoritma,” urai ayah tiga anak ini.
Apakah Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan bisa mengganti wartawan? Menurut Azul, ada yang tak bisa diganti, yakni bagaimana wartawan menuliskan perasaannya dalam karya jurnalistik. Kata ‘langit pecah’, atau deskripsi seseorang duduk di pojok dekat kipas angin hanya mengenakan celana pendek, misalnya.
“Jurnalisme tidak mengharamkan subyektivitas. Kita harus mencari cara lain dalam mengucapkan sesuatu,” ujar Azul.
Anda tertarik membelinya? Hubungi saja Kios Ojo Keos di kawasan Bona Indah, Lebak Bulus.