Dua anak muda NTT. Bertarung di Jakarta sebagai pengurus pusat gerakan.
Senang bertemu mereka. Yang satu Eduard Nautu, Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kupang 2020-2022. Sarjana Pendidikan dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Memang asalnya dari Pulau Timor. Lulusan SD GMIT Baumata, SMPN 2 Kupang Tengah, SMAN 1 Taebenu, dan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang.
Edu berangkat ke Jakarta memenuhi panggilan sebagai Sekretaris Fungsional (Sekfung) Pendidikan Kader Pengurus Pusat GMKI. Mendadak mendapat undangan pelantikan pengurus baru, ia menghubungi para senior GMKI di Kupang. Terkumpul bantuan uang tiket rata-rata seratus ribu rupiah tiap senior, berangkatlah Edu ke Jakarta. Saat ini harga tiket pesawat dari El Tari ke Cengkareng berkisar antara Rp 1,5 – Rp 2 juta.
Di Jakarta, Edu ingin melanjutkan pendidikan. S2 bidang pendidikan menjadi tujuannya, linier dengan sarjana strata satunya. “Saya prihatin melihat kondisi manajemen pendidikan di kampung, ingin sekali terjun di sana,” kisahnya.
Tes masuk S-2 Administrasi Pendidikan Universitas Kristen Indonesia (UKI) sudah dilaluinya. Biaya lagi-lagi jadi hal mengganjal. Di Jakarta pun tak banyak yang bisa diperbuat. “Saya punya laptop di Kupang, rusak. Mau bawa ke sini, tapi ya percuma, tombolnya tak bisa dipencet,” ungkapnya.
Di jabatannya sebagai PP GMKI, Edu rindu membenahi idealisme kader. Menurut Edu, mental kader GMKI harus terukur, tidak berorientasi jabatan, struktur, atau status. “Pola Dasar Sistem Pendidikan Kader (PDSPK) GMKI mesti dibenahi. Sebagai sekolah latihan maka GMKI hanya sebagai laboratorium. Kader yang telah selesai mengalami proses pematangan di laboratorium tentu sudah siap untuk ada di tiga medan gumul GMKI: gereja, kampus, dan masyarakat,” jelasnya.
Edu berpendapat, ada rentetan serta akumulasi dari proses panjang yang bermuara pada pemahaman bahwa GMKI hanya ‘sekolah latihan’. Ini artinya proses reorganisasi dan rekaderisasi harus didesain ataupun direkayasa agar kesempatan belajar bisa mengakomodir kader-kader potensial. Mereka yang telah purna, harus sadar posisi dan memberikan kesempatan kepada kader lain untuk belajar.
“Untuk mengurai benang kusut ini maka perlu dilakukan pembenahan secara serius oleh kita semua, anggota biasa ataupun luar biasa harus ikut andil dalam memikirkan apa dan bagaimana langkah strategis guna menyikapi fenomena ini,” urainya.
Selain Edu, pada kesempatan terpisah, saya bertemu Ferdi. Nama panjangnya Ferdinand Umbu Tay Hambandima. Asal dari Sumba Timur. Ferdi merupakan Ketua Cabang GMKI Kupang sebelum diganti Edu. Sarjana Peternakan dari Universitas Nusa Cendana ini menjadi Sekretaris Fungsional Penelitian dan Pengembangan PP GMKI. Tapi, mereka beda kutub. Memang, PP GMKI sekarang ada dua polar. Edu di satu kubu, Ferdi di versi lainnya.
“Senior-senior di Kupang ingin kami jadi penengah,” kata Ferdi.
“Hubungan kami bae bae. Masa kepengurusan hanya dua tahun, tapi persaudaraan saya dengan Ferdi akan selamanya,” kata Edu.
Ferdi pun punya visi kuat pada pendidikan di NTT. Khususnya di Tanah Sumba. “Sekolah-sekolah milik GMIT dan GKS harus direvitalisasi. Sudah ada juga grand desain tapi masih lemah di implementasi. Pemuda gereja harus bersatu untuk isu ini,” tegasnya.
Dini hari tadi, Ferdi sementara waktu pulang ke Timor. Menyelesaikan urusan administrasi pengunduran dirinya dari pekerjaan: sebuah NGO yang bergerak di bidang layanan kesehatan.
Keduanya akan kembali menatap Jakarta dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpi besarnya. Mungkin sekarang masih buram, tapi bagi pemimpin masa depan Nusa Tenggara, mereka tak akan menyerah.