Bagaimana rasanya kalau Anda bertemu kawan SMA setelah dua dekade tak jumpa? Kok rasanya tak ada yang berubah ya dari parasnya…
Saya dulu memanggilnya Farid. Tapi di daerah asalnya, Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sahabat satu ini akrab disapa Yayan. Maklum, nama lengkapnya Farid Maliyannor.
“Yayan, dari Mahliyan,” kata pewarta Radar Sampit, koran Grup Jawa Pos itu.
Kami sekelas di kelas dua dan kelas tiga A-3 2, alias penjurusan Ilmu Sosial. SMA Negeri 4 Surabaya. Itulah tahun terakhir penjurusan pakai istilah A-1 untuk peminatan Fisika, A-2 Biologi, A-3 Sosial, dan A-4 (jika ada) Bahasa.
Farid, eh Yayan, datang dari Kalimantan Tengah pindah ke Surabaya. Cerdik, masuk di pergantian kelas 1 menuju kelas 2. Karena kalau masuk dari kelas 1 SMA, pasti susah secara zonasi dan lain-lain. Bersaing dengan lulusan SMP lokal Surabaya.
Lulus SMA, ia sempat masuk kampus Unair Ekstensi, lalu pindah ke Program Studi Jurnalistik Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo. “Lihat alumni mahasiswa ekonomi, rasanya antre panjang mereka ke dunia kerja. Belum lagi ada lulusan baru di tahun berikutnya. Kayaknya masuk jurnalistik lebih cepet kerja,” kisahnya.
Maka, ia pun jadi wartawan di era booming media pascareformasi. Dari tabloid politik, sampai tabloid ‘Posmo’. “Liputannya dukun-dukun, tapi disuruh cari iklan jualan motor,” kenangnya. Salah satu inspirasinya jadi jurnalis didapat kala Farid membaca Memorandum, koran kriminal dari Surabaya. Headlinenya menulis kematian kawan kami sekelas di SMA. Siapa sangka, Farid kini jadi redaktur halaman kota dan kriminalitas di Radar Sampit. Ia pernah memberitakan perwira polisi yang tersandung kasus ilegal logging hingga yang bersangkutan dimutasi.
Malam kemarin, kami bertemu di Merlyn Park, Jakarta Pusat. Di hotel tak jauh dari kawasan Harmoni itu, Farid diutus menerima penghargaan untuk medianya. Ini ajang tahunan Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) yang rutin menggelar Indonesia Printing Media Award (IPMA).
Radar Sampit meraih penghargaan emas (Golden Winner) sebagai surat kabar harian terbaik regional Kalimantan. Award didapat berkat cover koran edisi 14 Oktober 2022 berjudul ‘Bukti Kalimantan Anak Tiri.’ Edisi yang mengulas tentang pemadaman listrik total yang terjadi selama dua hari di Sampit. Hal tersebut melumpuhkan sejumlah aktivitas warga. Total kerugian disinyalir mencapai miliaran rupiah. Penghargaan kali ini memperpanjang daftar prestasi koran dari kota di tepi Sungai Mentaya. Pada tahun-tahun sebelumnya, Radar Sampit menjadi langganan penerima penghargaan serupa.
Duduk di kafe hotel tempat lokasi acara, berteman dua cangkir kopi susu, saya sempat memegang piala itu. Bangga sekali rasanya bagi pemenang penghargaan. Selaras dengan pengorbanan yang dia lakukan. Menyetir mobil selama 4 jam bersama isteri dan kedua anaknya dari Sampit ke Palangkaraya. Sampai ibu kota Kalimantan Tengah, isteri dan buah hati dititipkan ke kerabat. Farid terbang ke Jakarta.
Di Bandara Tjilik Riwut, sudah mau terbang di siang hari jelang menerima penghargaan malamnya, kendala terjadi. Pesawat berlogo singa dinyatakan mengalami kerusakan mesin. Beruntung, setelah menunggu dua jam, jadi juga terbang. Meski rasa cemas melanda di udara. Sayang, hanya semalam tugasnya di ibu kota negara.
“Saya pernah juga di-BKO tugas ke sini beberapa bulan. Biar tahu pengalaman cari berita di Jakarta,” ceritanya. Saat liputan di Mabes Polri, ia berjumpa dengan seorang polisi yang pernah bertugas di Sampit. “Ai, kau ini Yan, di mana-mana ada. Di Kalimantan ketemu, di sini juga ketemu,” kata komisaris polisi itu.
Saya dua kali ke Palangkaraya. Tapi belum pernah sampai ke Sampit. Di Borneo, tantangan peliputan sangat keras. Terutama masalah kejahatan lingkungan. Farid aka Yayan merasa sudah melalui semuanya. Seperti ia telah ‘lulus’ dari masa mudanya nan amat kelam. Akrab dengan kehidupan gelap di Surabaya. Sampai kemudian mendengar kabar Jawa Pos membuka koran baru di kota kelahirannya. Saat itu, Kalimantan sedang bergolak. Konflik Dayak versus Madura.
“Bahkan untuk menengok kerabat di sisi lain Kalteng pun, saya harus memutar laut melewati Banjarmasin. Di mana-mana diblokade penuh kecurigaan. Ngeri benar situasinya saat itu,” ungkapnya.
Pagi tadi ia kembali ke Kalteng. Menggenggam piala kebanggaan. Dan mengirim sebuah teks Whats App, “Sampai jumpa lagi, sy tunggu di Kalimantan..”