Ada dua mazhab pelatih sepak bola dalam menyikapi gol yang dicipta anak asuhnya.
Mazhab pertama adalah gaya tenang. Muka datar. Nyaris tanpa ekspresi. Alasannya beragam. Bisa karena respek pada lawan. Atau karena merasa perjuangan belum selesai. Sebuah gol belum memastikan kemenangan. Atau, lebih ekstrem lagi, belum juara.
Pelatih yang ada dalam barisan ini antara lain eks head coach timnas Jerman Joachim Low, Don Carlo Ancelotti, sampai Rafael Benitez. Alih-alih bersorak saat pemainnya melesakkan gol, Rafa Benitez memilih melihat jam tangan, mencoret-coret kertas layaknya waiter restoran, atau memanggil pemain-pemainnya untuk briefing kilat sebelum lawan menendang bola tengah.
Di Indonesia, aliran ini dianut legenda Sleman Seto Nurdiantoro. “Tiap pelatih punya style masing-masing ya. Tipikal saya seperti itu, tapi saya pribadi mencoba berkaca ke Timnas Jerman,” ujar Seto dikutip Tribun. Menurut Seto, Timnas Jerman saat menjuarai Piala Dunia tahun 2014 tampil dengan tenang dan santai.
Saat memenangi laga dari babak penyisihan hingga menembus partai final, setiap menciptakan gol tim besutan Joachim Low kala itu tidak terlalu berlebihan dalam merayakannya. “Pada saat Jerman menang di tiap laga, saya melihat tim Jerman merayakan gol dengan tidak berlebihan. Namun saat juara, baru mereka ekspresif merayakan,” jelasnya.
Menurut Seto, cara demikian menjadi inspirasi baginya dalam bersikap di dalam lapangan.
“Itu jadi inspirasi saya dan saya memang begitu ekspresinya. Datar-datar aja,”
Mazhab kedua yakni mereka yang sangat ekspresif di lapangan. Saking agresifnya begitu tim bikin gol, Jurgen Klopp dan Antonio Conte diledek sebagai ‘pemain sirkus’ oleh Jose Mourinho. Padahal, Mou sendiri tak kalah ‘gila’ dalam berselebrasi.
Di Indonesia, mazhab riang gembira dalam perayaan gol dilakoni pelatih macam Uston Nawawi, hingga Thomas Doll. Meski ya tak terlalu ‘pencilakan’ serupa Klopp. Lebih berupa mengguncang-guncangkan tangan ke udara atau memeluk dan menepuk-nepuk punggung sesama ofisial.
Jadi, di mazhab mana Anda berada? Saya memilih berekspresi. Karena di hidup ini, setiap pencapaian harus dirayakan. Tapi, tetap jangan berlebihan.