Ibu kota provinsi Papua Barat Daya terinjak sudah. Meski ya hanya di Bandara Domine Eduard Osok (DEO).
Pada sebuah pagi di pertengahan Oktober 2023, penerbangan saya menuju Manokwari transit di Sorong. Saat perjalanan awal, hal ini tak terduga. Saya mengira dari Jakarta hanya transit di Makassar. Ternyata, dari Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, menuju Bandara Rendani, Manokwari perlu satu perhentian di Bandara DEO Sorong.
Dulunya, Sorong satu provinsi dengan Manokwari. Provinsi Papua Barat. Sorong lebih besar, lebih banyak uang beredar. Kota bisnis. New Yorknya lah. Sementara Manokwari dipilih jadi kota pemerintahan. Washington DC nya lah. Pada April 2018 saya berkunjung ke Manokwari, maka, saya rasa, saya sudah menorehkan catatan sudah pernah ke Papua Barat.
Lalu, berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya (PBD), lahirlah provinsi baru di kepala burung Papua. Tertanggal 8 Desember 2022. Ibukotanya Sorong. Artinya, karena belum pernah ke Sorong, maka saya pun belum terhitung pernah menjejakkan kaki di PBD. Ada kesempatan ke sini pada Desember 2022 itu, tapi saya menolak rencana perjalanan kantor, karena berbarengan dengan ultah puteri saya.
Jadi, ketika Lion Air yang membawa saya ke Manokwari transit di Sorong, saya begitu girang. Petugas pesawat menginstruksikan agar para penumpang transit tak perlu turun pesawat. Saya abaikan. Saya turun sebentar, menginjakkan kaki di Bandara DEO. Lalu memotret diri secara selfie, karena tak ada yang bisa diminta tolong. Jepret. Pramugari marah, saya diminta naik kembali.
Dua pekan kemudian
Tak disangka, 8 November 2023 saya kembali ke Sorong. Kali ini malah lebih “terhormat”. Pesawat jet yang kami tumpangi transit di Bandara DEO, isi avtur. Bahkan, kami diterima oleh Kepala Bandara Sorong. Sangat istimewa. Makanan berlimpah. Termasuk rahang tuna yang saya ambil banyak. Tapi, saya menepis tawaran mencicipi durian.
Tak hanya singgah di ruang pertemuan yang difasilitasi kepala bandara, saya memutuskan jalan keluar. Ingin memotret patung Domine Eduard Osok yang jadi nama serta ikon bandara ini. Ketinggian monumen Pendeta Domine Eduard Osok ini mencapai 10 meter. Patung yang memperindah suasana bandara ini berdiri diatas keindahan bunga teratai, di bawah cerahnya langit kota Sorong.
Domine Eduard Osok merupakan penginjil, putra asli suku Moi (Sorong), yang tak memiliki pendidikan tinggi, namun diangkat menjadi pendeta di atas Tanah Papua. Ia dikenal sebagai tokoh yang selalu rendah hati, dan mengajarkan hal yang baik bagi semua orang, sehingga layak diberikan penghargaan berupa nama bandara, ini untuk pertama kali di Indonesia, nama seorang pendeta digunakan sebagai nama bandara.
Selamat tinggal Sorong, yang disebut Kota Minyak, di mana Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) mulai melakukan aktivitas pengeboran minyak bumi di Sorong sejak tahun 1935…