Cece Tarya, Jiwa Salesman Seorang Kepala Bandara

Bandara Domine Eduard Osok selanjutnya disebut Bandara DEO Sorong, merupakan pintu gerbang bagian barat untuk menuju dan dari Pulau Papua, letaknya yang strategis berada disemenanjung kepala burung pulau Papua.

Bandara DEO Sorong memiliki visi ‘Sebagai Penggerak pertumbuhan ekonomi Kawasan melalui keunggulan penyelenggaraan jasa kebandarudaraan dengan tatakelola administrasi dan keuangan yang terukur dan akuntabel.’ Salah satu mimpinya adalah mewujudkan pelayanan jasa kebandarudaraan yang berkualitas, didukung sarana dan prasarana yang handal dan optimal serta SDM yang berkarakter dan professional.

Hal tersebut telah dibuktikan dengan ditunjuknya Bandara DEO Sorong, sebagai salah satu bandara dengan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) pada Bulan Pebruari 2023 melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 63/KMK.05/2023.

BLU adalah Instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada Masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsif efesiensi dan produktivitas yang diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan.

Bagi Kepala Bandar Udara Domine Eduard Osok (DEO) Sorong, Cece Tarya, mengepalai sebuah airport tak semata mengurus teknis penerbangan pesawat landed dan take-off. Lebih dari itu, seorang kepala bandara juga punya tugas untuk berperan meningkatkan demand penumpang dan kargo, melalui penggerakan sumber-sumbernya, sehingga meningkatnya perekonomian warga masyarakat di mana bandara itu berada. Harus berpikir strategis, bahkan perlu punya jiwa bak seorang ‘salesman’.

“Saya berkonsentrasi pada tiga hal: pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), komoditas, serta pariwisata daerah tempat saya ditugaskan,” kata Cece Tarya di Sorong, ibu kota provinsi Papua Barat Daya, baru-baru ini.

Kepedulian Cece pada peningkatan pariwisata di Papua Barat Daya ditunjukkan dengan pemikiran strategisnya karena provinsi baru ini mendapat target kunjungan wisata sebanyak 675 ribu wisatawan/ tahun (wisatawan domestik dan mancanegara) hingga Tahun 2030 sesuai dengan Dokumen Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Papua Barat Daya .

“Bagaimana mungkin turis lokal dan mancanegara bisa datang dalam jumlah sebesar itu, sementara jumlah kamar hotel berbintang dan penginapan di kota Sorong terbatas hanya kurang lebih 840 room,” kata Cece.

Ia pun berangan-angan agar Bandara Kelas I yang dalam pengelolaan UPT Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub ini berperan dalam membantu penyediaan fasilitas akomodasi bagi wisatawan di Papua Barat Daya.

“Kami merencanakan membangun semacam hotel budget bernama ‘DEO Cabin’ di samping gedung terminal, juga membangun buisniss park pada lahan kosong kawasan bandara. Sekarang kan lagi ngetrend hotel kapsul, turis bisa naruh barang dan segera mengeksplorasi lokasi wisata. Tak harus lama tinggal di hotel mahal,” urai pria kelahiran 55 tahun silam ini.

Selain itu, Cece yang bertugas di Sorong sejak akhir 2020 juga berinisiatif membuat bandara bercahaya di malam hari. Nyala lampu terang di depan signage Bandara DEO menjadikan kawasan taman airport sebagai tempat nongkrong anak muda.

Tak cukup itu, Cece mendatangkan pelukis mural jauh-jauh dari Jawa. Maka tembok dan lantai Bandara DEO penuh dengan lukisan mural berkelas. Dari tokoh anime Jepang di toilet, hingga pemandangan alam bawah laut di tangga terminal keberangkatan. Para penumpang yang menaiki tangga bisa berpose seolah sedang dikejar hiu paus di perairan Kepulauan Raja Ampat.

“Awalnya gambaran promosi Raja Ampat itu mau ditampilkan dalam videotron. Setelah dihitung-hitung mahal juga, sementara dana kami hanya Rp 180 juta. Akhirnya ada ide, kenapa tidak dilukis saja? Selain ekonomis, juga lebih natural,” urai Cece yang 14 tahun menjadi dosen di Politeknik Penerbangan Medan ini.

Begitu banyak persoalan menggelayut di pikiran ayah tiga anak ini. Termasuk ketimpangan perlakuan yang diterima bandara di kawasan timur Indonesia. Ia mengungkapkan, harga avtur di Bandara DEO Sorong mencapai Rp 16.176 per liter. Bandingkan dengan harga avtur di Jakarta, Labuan Bajo, dan Lombok berada di kisaran Rp13.800 per liter.

Harga bahan bakar tentunya memengaruhi ke harga tiket. Semakin tinggi harga avtur, maka tarif tiket juga naik, karena Avtur menyumbang sekitar 37% hingga 45% dari komponen perhitungan harga ticket.

”Kami sudah menanyakan hal ini, ternyata naiknya disebabkan karena faktor distribusi dan transportasi dari pusat produksi Avtur di Balongan ke Sorong,” jelasnya. Padahal, sebagai salah satu kawasan primadona wisata baru Indonesia, ia berpendapat, harusnya biaya-biaya menuju Raja Ampat bisa ditekan.

Pascapandemi Covid-19, pergerakan lalu lintas udara di Bandara Sorong terus meningkat signifikan. Pada setengah tahun 2024, pergerakan pesawat mencapai 5.474, sementara pada sepanjang tahun 2023 sebanyak 13.759. Data ini lebih baik dibanding pada masa pandemi yakni 8.923 (2020), 9.498 (2021) dan 13.383 (2022).

Demikian pula untuk pergerakan penumpang: 472.049 (semester awal 2024), 1,314,095 pax/ (2023), 1,294.664 /(2022), 735.349/ (2021) dan 678.683 pax/ (2020)

Sementara untuk data pergerakan cargo: 2.800.470 (semester awal 2024), 7.606.969 /(2023), 7.842.277/ (2022), 6.321.922 /(2021), dan 4.688.221 /(2020)

Cece Tarya, menyampaikan bahwa kedepan ada 3 rencana strategis yang dapat dilaksanaan oleh bandara DEO, simultan dengan Upaya peningkatan fasilitas dan pelayanan

Peningkatan Demand Pariwisata melalui Transportasi Udara

Berdasarkan data kepariwisataan pada tahun 2023 Bali kedatangan 13,6 juta wisatawan; terdiri dari 9,7 juta wisatawan domestik dan 3,9 juta wisatawan mancanegara, serta Labuan Bajo kedatangan 950 ribu wisatawan; 693 ribu wisatawan domestik dan 257 ribu wisatawan mancanegara. Tiga besar pintu masuk kedatangan Wisatawan mancanegara melalui I Gusti Ngurah Rai, Soekarno-Hatta dan Batam.

Ke depan Bandara DEO akan melakukan peningkatan frekuensi penerbangan untuk; Denpasar-Sorong-Denpasar, Jakarta-Sorong-Jakarta dan Sorong-Labuan Bajo-Sorong, disamping membuat route-route untuk pemenuhan konektivitas pada area Trans Papua.

Cece, juga menambahkan saat ini Bandara DEO sedang berkoordinasi dan komunikasi Bersama Pemda Provinsi Papua Barat Daya, Pemda Kota Sorong, Kantor Imigrasi, Kantor Bea Cukai dan Kantor Kekarantinaan dalam Upaya Bandara DEO sebagai bandara domestik dapat melayani penerbangan Internasional unscheduled, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 40 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2019 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional.

Pasal 41 pada peraturan Menteri dimaksud menyatakan bahwa “Untuk kepentingan tertentu, Bandar Udara Domestik dapat melayani penerbangan ke dan dari luar negeri setelah mendapatkan penetapan oleh Menteri”

Kepentingan tertentu sebagaimana dimaksud meliputi;

  • Kenegaraan
  • Kegiatan atau acara yang bersifat Internasional
  • Embarkasi dan Debarkasi Haji
  • Menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, seperti industry pariwisata dan perdagangan, atau
  • Penanganan bencana

Hal ini strategis untuk dapat dilaksanakan dalam rangka pencapaian peningkatan demand pariwisata dan perdagangan komoditas asli daerah, khususnya marine produk.   

Potong Jalur Logistik

Cece pun memandang pentingnya peran Bandara DEO Sorong dalam memotong jalur logistik barang kebutuhan pokok yang akan menuju ke Papua Tengah dan Papua Pegunungan dari Pelabuhan Sorong, sebagai pintu gerbang perdagangan laut di wilayah barat kepala burung.

“Kami mencoba melakukan pengkajian nilai ekonomis atas pengiriman barang-barang menuju wilayah tengan papua dengan mengoptimalkan agar bandara ini bisa memotong jalur distribusi barang yang selama ini lewat laut. Sebagai contoh kapal berlayar dari Jakarta, surabaya atau makassar akan terlebih dahulu melawati pelabuhan Sorong,  selanjutnya dari Sorong dilanjut ke pelabuhan Jayapura lewat kapal, masih dua hari dua malam lagi baru sampai. Belum lagi ke daerah-daerah lain,” tuturnya. Di sinilah peran penerbangan baik komersial maupun perintis dapat mempermurah harga komoditas, di samping menjaga kualitas barang lebih segar.

Menurutnya, posisi strategis Sorong layak menjadikan Bandara DEO sebagai ‘hub cargo’. “Memangkas rute transportasi cargo via laut dari Jakarta ke Jayapura (Sentani) melalui Sorong dengan angkutan perintis kargo bisa menjadi cara yang efisien untuk meningkatkan kecepatan dan mengurangi biaya logistik,” tegasnya.

Cece memaparkan, rute angkutan transportasi udara Cargo Perintis melalui Sorong ke Sentani, Wamena, Nabire, Papua Pegunungan Tengah dipandang lebih efisien dibandingkan dengan Sorong-Jayapura (via laut), Kemudian Jayapura ke Sentani, Wamena, Nabire, dan Puncak Jaya menggunakan transportasi darat.

Mendorong UMKM Naik Kelas

Kontribusi lain dari Cece ditunjukkannya saat mengangkat keterampilan para pedagang cendera mata binaan di lantai dua bandar udara seluas 13.700 m2 dengan daya tampung per tahun hanya 1,2 juta orang dan landasan pacu sepanjang 2.500 meter itu.

“Kami mengirim para UMKM binaan Bandara CEO untuk belajar langsung ke pengrajin Tasikmalaya, Garut. Sekembalinya ke sini, mereka bisa lebih baik menganyam oleh-oleh khas Papua,” kisahnya.

Pada Bulan Mei yang lalu untuk yang ke-2 kalinya juga kami Bandara DEO ujar Cece, melaksanakan kurasi (penyeleksian) produk olahan UMKM Se-Sorong Raya yang diikuti lebih dari 80 orang seniman pangan dengan jumlah produk sekitar 150 jenis. Bekerjasama dengan Dinas PTSP Prov Papua Barat Daya, Sekolah Seniman Pangan Indonesia dan Javara Indonesia, tiga jenis produk berhasil lolos kurasi dan selanjutnya mendapatkan kontrak kerjasama dengan Bandara DEO untuk masuk di Nusatara Gallery dan Icon Papua Gallery yang berada di Lantai 2 Terminal Keberangkatan Bandara DEO.

Nusantara Gallery dan Icon Papua Gallery, merupakan Gallery yang kami siapkan untuk menampung produk para pelaku seniman pangan maupun pelaku kerajinan di Sorong Raya.

Bahkan Bandara DEO, pada 2023 pernah mengirimkan peserta seniman pangan Kota Sorong ke ajang Food Festival Internasional yang diselenggarakan di Ubud-Bali. Produk yang diikutkan pada festival tersebut saat ini telah viral di Sorong bahkan sudah mendapatkan kontrak kerjasama dengan tempat kuliner di jakarta, yakni ’Rahang Tuna Bakar’.

Merajut Konektivitas di Papua

Cece pun pernah mengumpulkan bupati/walikota se-Provinsi Papua Barat Daya agar mau memberi subsidi (blockseat) agar pesawat perintis yang terbang dari Sorong ke pedalaman Papua tetap beroperasi, dalam rangka pengendalian laju Inflasi. Penerbangan ke daerah pelosok itu antara lain dilayani dari Sorong ke Ayawasi, Bintuni, Inanwatan, Teminabuan, Kabare, dan Waisai (Susi Air) serta Babo, Fak-Fak, dan Kaimana (Wings Air).

“Penerbangan perintis sebagai angkutan sosial adalah wujud peran negara hadir di daerah. Utamanya daerah pelosok yang sangat mengandalkan transportasi udara seperti Papua ini,” tegasnya.

Kebijakan lain dari Cece, yakni pembukaan rute-rute baru, seperti dari Sorong ke Timika, Ambon, dan Manado. ”Dengan makin banyak maskapai melayani penerbangan, artinya ada persaingan. Dalam situasi pelayanan tak dimonopoli satu airlines, maka harga bisa lebih kompetitif, sehingga konsumen diuntungkan,” terangnya.

Selain itu, dengan rute baru Sorong langsung ke Timika, tanpa harus transit di Jayapura, bisa memangkas biaya operasi serta ujungnya berdampak mengehemat harga tiket yang signifikan.

”Mindset seorang kepala bandara itu harus pola pikir pebisnis. Dalam hal ini tentu mengembangkan bisnis secara positif. Soal keamanan dan keselamatan penerbangan tetap prioritas, tapi mengembangkan bisnis, serta menjalin kerja sama dengan pemerintah menjadi kewajiban agar masyarakat benar-benar merasakan dampak positif kehadiran bandara di daerahnya,” kata penggemar berat memancing ini.

Di waktu senggangnya kala tak bertugas, sementara keluarga ada di Jakarta karena tugas isteri sebagai abdi negara di Kementerian Kesehatan, Cece Tarya memilih memancing di perairan gugusan Kepulauan Raja Ampat.

“Saya pernah sukses mendapat ikan kerapu seberat 95 kilogram dan sepanjang hampir dua meter,” kata Cece yang hafal benar spot-spot strategis untuk memancing di Papua. Dari yang kedalaman 80 meter, 300 meter, hingga 2.000 meter di bawah permukaan laut untuk mencari tuna terbaik di Papua.

“Dari memancing, kita belajar mengembangkan insting makin kuat. Dimulai menentukan saat dan lokasi memancing. Lalu kapan melempar, kapan menunggu, dan kapan saat tepat menarik tali pancing. Tak beda dengan seni mengambil keputusan dalam memimpin sebuah bandara untuk bisa menyejahterakan warga di daerah tempat kami berada,” pungkasnya.

Ruang Baca di Bandara DEO

Bandara Domine Eduard Osok memberi keistimewaan khusus bagi para pengguna jasa penerbangan yang memiliki waktu senggang menunggu keberangkatan pesawat.

Reading Room atau ruang baca di lantai dua terminal keberangkatan disiapkan sebagai lokasi bersantai sekaligus menambah wawasan penumpang pesawat. Beraneka buku tersedia di sini, dari majalah internal maskapai dan Otoritas Bandar Udara Wilayah IX, novel, filsafat, serta buku-buku yang menonjolkan kedalaman topik tentang Papua.

”Kami menyiapkan ruang baca ini agar penumpang bisa senyaman mungkin menanti keberangkatan pesawat. Tidak bosan, bisa santai sekaligus meningkatkan ilmu pengetahuan. Bacaan cetak seperti majalah dan buku masih sangat penting di era serbuan sumber informasi digital seperti saat ini,” kata Humas Bandara Domine Eduard Osok Sorong, Teguh Supriyanto.

Leave a Reply

Your email address will not be published.