Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 menetapkan sepuluh daerah/objek wisata sebagai ‘10 Bali Baru’.
Selain Danau Toba (Sumatera Utara), Candi Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Likupang (Sulawesi Utara), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Bangka Belitung, dan Pulau Morotai (Maluku Utara), ada Raja Ampat (Papua Barat Daya) dalam daftar itu.
Mendapat julukan sebagai ‘The Last Paradise on Earth’, gugusan kepulauan di Raja Ampat sangat penuh pesona. Para penyelam dan pencinta wisata bahari menyebut destinasi wisata ini sebagai ’Surga Bawah Laut Dunia’.
Kabupaten Raja Ampat punya 610 pulau dengan penduduk hampir 70 ribu jiwa. Termasuk Kepulauan Raja Ampat yang, sesuai namanya, terdiri empat pulau besar yakni Pulau Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo. Dari seluruh pulau itu, hanya 35 pulau yang berpenghuni, sedangkan pulau lainnya tidak berpenghuni dan sebagian besar belum memiliki nama.
Hanya ada dua cara untuk menuju Raja Ampat. Pertama, lewat jalur laut, sekitar dua-tiga jam perjalanan dari Pelabuhan Sorong, menggunakan speed boat atau kapal ferry. Cara lain yakni dengan jalur penerbangan. Sayangnya, saat ini baru tersedia satu rute penerbangan dari Bandara Domine Eduard Osok Sorong menuju Bandara Kabare di Pulau Waigeo sisi utara dan Bandara Marinda di Waigeo bagian selatan.
Penerbangan perintis dengan Grand Caravan Susi Air berlangsung tiga kali dalam sepekan, tiap Selasa, Kamis, dan Sabtu. Tarif penerbangan perintis Sorong-Kabare-Waisai saat ini sebesar Rp 495 ribu per orang dengan prioritas melayani warga lokal Papua.
Kepala Bandara Marinda Waisai Raja Ampat, Ardi Istamar Rasyid menegaskan, penerbangan perintis dari Sorong ke Raja Ampat ini sangat dibutuhkan masyarakat. Karena itu, ia bersyukur frekuensinya sudah ditambah, dari sebelumnya dua kali sepekan menjadi tiga kali.
”Masyarakat sangat terbantu dan membutuhkan penerbangan perintis ini, terutama untuk rute Kabare-Sorong dan Kabare-Waisai. Saat gelombang laut tinggi, waktu tempuh pelayaran menjadi berjam-jam, pilihan transportasi udara jadi jawabannya,” urai Ardi.
Pada 2017 lalu pernah ada rute lain masuk ke Raja Ampat, pesawat ATR 72 milik Wings Air terbang dari Manado ke Waisai. Sayang karena keterisian penumpang kurang, akhirnya flight itu ditutup. “Terutama setelah jamnya diubah dari penerbangan pagi jadi sore hari,” ungkapnya.
Ardi menjelaskan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan pemerintah daerah Provinsi Papua Barat Daya maupun Kabupaten Raja Ampat agar penerbangan menuju salah satu Global Geopark UNESCO ini tak hanya dari satu pintu Sorong, tapi bisa melalui jalur lain seperti Manado, Makassar, atau Ternate.
“Kami menaruh harapan pada pemerintahan presiden-wapres terpilih Prabowo-Gibran maupun nantinya Bupati Raja Ampat yang baru dapat mewujudkan penambahan penerbangan, sehingga Bandara Marinda tak hanya melayani penerbangan perintis seperti saat ini,” kata pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, 50 tahun lalu itu.
Ungkapan yang sama disampaikan Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Papua Barat Daya, Yusdi Lamatenggo.
“Di Raja Ampat ini ada 312 titik lokasi wisata, dengan 207 di antaranya berupa spot menyelam. Sangat disayangkan kalau penerbangan dari dan menuju Raja Ampat hanya melalui satu pintu lewat Sorong saja,” jelas Yusdi.
Baru pertama ke Raja Ampat, Clement Bluteau, seorang bule Prancis yang sehari-hari jadi guru Fisika di Singapura, merasakan momen menyendiri dengan menyenangkan.
“Saya menikmati tinggal di sini sekitar seminggu. Nice. Saya cinta Indonesia, saya cinta Papua,” kata Clement yang menginap di Raja Ampat Dive Resort.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) Alvin Lie menyatakan, pesona wisata Raja Ampat sudah terkenal di seluruh dunia. Tantangannya adalah mendatangkan lebih banyak wisatawan ke Raja Ampat tentunya dengan akses udara yang paling cepat.
”Saya yakin, kalau nanti penumpangnya sudah cukup, maskapai akan mempertimbangkan pembukaan rute komersial ke Raja Ampat, tak hanya satu rute dari Sorong selama ini. Tinggal bagaimana infrastruktur Bandara Marinda maupun Raja Ampat secara umum bisa dilengkapi, misalnya layanan internet lebih memadai, sehingga lebih banyak wisatawan datang,” tukas anggota DPR RI 1999-2009 dan Ombudsman RI 2016-2021 ini.
Lokasi wisata andalan di Raja Ampat antara lain sungai kecil di tengah hutan Kali Biru, gugusan pulau kecil Wayag, Batu Pensil, Star Lagoon dan Piaynemo. Selain itu ada Pulau Friwen Pasir Timbul, Air Terjun Batanta, Air Terjun Warmayau, Desa Wisata Sauwandarek, Desa Wisata Sawinggrai, Desa Wisata Arborek, dan masih banyak lagi.
Bandara Kelas III Marinda dengan kode IATA RJM memiliki landasan pacu sepanjang 1.525 meter berada di bawah pengelolaan UPT Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan dalam naungan Otoritas Bandar Udara Wilayah IX Manokwari.
Ardi Rasyid menekankan, saat ini seluruh pemangku kepentingan pariwisata punya pekerjaan rumah bagaimana membuat wisatawan nusantara bergairah untuk plesir ke Raja Ampat. Salah satu cara utamanya yakni memperkuat citra bahwa berwisata ke Raja Ampat tak identik dengan biaya tinggi.
”Kalau bagi turis asing yang memang menggemari selam, snorkeling, atau ingin menyepi di keheningan pantai, mungkin biaya tidak jadi masalah. Tapi bagi wisatawan domestik, komponen biaya transportasi dan akomodasi menjadi pertimbangan penting,” urainya.
Ardi menguraikan kelebihan dari masyarakat lokal di Raja Ampat yang sudah sangat kreatif dan kooperatif dalam mengembangkan atraksi wisata sehingga memberi kesan mendalam bagi para turis. Menyambut serombongan tamu dari Jakarta, Ardi bekerja sama dengan kelompok pemuda setempat yang berpakaian ala penduduk primitif.
Dari tengah hutan, empat orang bertato sepanjang badan dan hanya berbusana dedaunan tiba-tiba mengepung wisatawan dengan tombak teracung. Syukurlah, kekagetan para tamu kemudian berubah jadi gelak riang yang diabadikan dalam foto dan video bersama anggota ’pasukan perang adat’ khas Suku Maya.
Tak hanya itu, Ardi juga mengajak berkunjung ke Rumah Sanggar Kreasi Mankobon. Sanggar ini merupakan binaan Kodim 1805/Raja Ampat di bawah Kodam XVIII Kasuari, didirikan untuk mempertahankan serta melestarikan budaya Papua melalui kreasi seni musik tradisional di Kampung Saporkren, Waigeo Selatan, Raja Ampat.
Di sanggar pimpinan Isak Lewi Burdam inilah Bastian, Abner, Nelson, Ferdinand dan anak-anak muda Papua lain berlatih alat musik kreasi sendiri. Bambu-bambu yang disusun menjadi semacam kulintang panjang dilengkapi dengan ukulele, gitar, dan suling mengiringi nyanyain indah lagu khas Papua, lagu nasional serta lagu-lagu pop kreatif.
”Selain itu, Tim Humas Bandara Marinda juga bergerak ke resor-resor di Raja Ampat. Kami membuat profil dan menaikkan video mereka ke media sosial. Harapannya pemahaman masyarakat tentang Raja Ampat semakin bertambah, dan berdampak pada meningkatnya kunjungan wisatawan,” kata ASN Kementerian Perhubungan sejak 1997 ini.
Ardi menekankan prinsip hidup, di manapun berada dapat memberi dampak positif bagi masyarakat sekitarnya. Lulusan Program Studi Teknik Listrik Bandara (TLB) Politeknik Penerbangan Indonesia Curug ini menjalani penempatan pertama di Bandara Jefman, dekat Sorong, sebelum Bandara Domine Eduard Osok (DEO) dibangun.
Enam tahun bertugas di Pulau Jefman, Ardi kemudian ikut menjalani perintisan berdirinya Bandara DEO Sorong, lalu dipindah ke pelosok selatan Papua, mengepalai Bandara Kimaam di Kabupaten Merauke. Baginya, tak ada hal lain yang menjadi kunci beradaptasi saat ditugaskan di tempat baru selain merangkul dan mengajak warga lokal sebagai sahabat.
”Hidup saya mengalir saja. Yang penting bisa berbuat sesuatu bagi orang lain. Di Papua ini yang penting bisa bergaul, ngopi bareng, makan pinang bareng, lama-lama jadi teman,” pungkas Ardi.