Eropa Bersatu untuk Indonesia (Eropa Bersatu) ikut membuka suara terkait Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang membuka kembali perijinan ekspor pasir laut.
Komunitas aktivis dan profesional Indonesia ‘Eropa Bersatu’ menyayangkan keputusan pemerintah yang dianggap dihasilkan dengan terburu-buru dan gegabah, mengingat selama 20 tahun sebelumnya kegiatan ekspor ini dilarang.
Ketua Umum Eropa Bersatu, Sakaria Wielgosz menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya merangkul dan meminta masukan dari berbagai pakar dan ahli sebelum menerbitkan aturan itu.
“PP itu mendapat banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat, yang mewakili nelayan, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Mereka dapat melihat dan mengukur ke depannya, betapa besar kerugian yang akan dialami oleh negara dan alam Indonesia, terutama terkait lingkungan hidup. Termasuk juga kerugian masyarakat khususnya nelayan, jika pemerintah memaksa untuk tetap menerapkan aturan ini,” urainya.
Lebih lanjut Sakaria menambahkan, dirinya setuju dengan pernyataan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang meminta agar pemerintah tidak mengekspor pasir laut tetapi mengembalikan tanah, daratan, dan sawah-sawah masyarakat di pantai utara Pulau Jawa.
Sakaria menegaskan, setelah yakin pengurukan sedimen pasir laut memang harus dilakukan dan prosedurnya sudah dipastikan memenuhi standar yang berlaku, maka sebaiknya sedimen pasir laut tidak diekspor melainkan untuk digunakan dalam negeri.
“Seharusnya gunakan sedimen pasir itu di dalam negeri, untuk meninggikan wilayah pesisir yang terkena abrasi, dan berpotensi banjir bahkan tenggelam,” seru WNI yang bermukim di Swiss ini.
“Kita berharap pemerintah menunda rencana tersebut, sampai teruji dengan baik dan benar, melibatkan semua stakeholders bukan hanya para pengusaha, melainkan para ahli ekonomi, lingkungan, dan juga masyarakat khususnya nelayan, dan lain sebagainya,” tegasnya.
Senada dengan itu, Ketua Eropa Bersatu Jerman Arief Imanuwarta, memahami bahwa pemberlakukan Peraturan Pemerintah ini khusus untuk pasir yang telah melalui proses sedimentasi dan untuk kebutuhan pembuatan jalur masuk bagi kapal besar yang butuh kedalaman laut tertentu untuk bisa berlayar. Namun, Eropa Bersatu meragukan pelaksanaannya akan sesuai dengan ketentuan tersebut.
“Kalau gegabah, dampak buruk bagi Indonesia bukan hanya merugikan negara secara pendapatan non tax melainkan juga dampak banjir, bahkan pulau tenggelam, nelayan kehilangan sumber nafkah mereka karena keruhnya air akibat pengurukan tersebut,” urainya.
Arief juga menambahkan, penjualan pasir laut ke luar negeri akan menguntungkan negara tetangga, seperti Singapura. “Kalau pasir yang dibeli itu digunakan untuk reklamasi pantai, maka wilayah mereka akan semakin luas dan akan mempengaruhi batas wilayah perairan Indonesia,” pungkasnya.
Ketua Network dan Aliansi Eropa Bersatu yang juga pakar dan penggerak terkait pelestarian lingkungan hidup, Husni Suwandhi, mengatakan keputusan pemerintah ini jelas lebih banyak membawa dampak negatif dibandingkan keuntungan untuk Indonesia.
“Saya tidak sependapat apabila penanggulangan sedimentasi dengan cara pengurukkan dilakukan, karena jelas itu akan merusak ekosistem pesisir dan laut. Terumbu karang dan biota laut akan rusak. Rehabilitasi alam selalu membutuhkan waktu yang lama untuk pulih dan susah sekali,” katanya.
Husni menambahkan, usaha penambangan pasir ataupun sedimen pasir selalu dilakukan di laut dangkal, dan ini akan menyebabkan naiknya permukaan air laut dan ombak.
“Kita semua harus ikut berperan menjaga kelestarian lingkungan hidup, terutama kelestarian laut dan pantai, karena ketahanan laut dan pantai sangat penting bagi negara maritim seperti Indonesia,” pungkasnya.