Sudah lama ingin ketemu sahabat yang selama ini hanya berinteraksi secara virtual. Baru dalam lawatan ke Bandung kali ini terwujud bertemu Fanny, sang penggiat Sekolah Damai Indonesia.
Kami punya irisan karena Fanny Syariful Alam pun pernah menjadi peserta International Visitor Leadership Program (IVLP) sebuah program yang digagas Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Berkunjung tiga pekan ke Negeri Abang Sam untuk berbagai topik berbeda. Kami berangkat untuk batch dan tahun yang berbeda. Fanny bermuhibah ke AS pada awal 2020, untuk topik pelibatan anak muda dalam demokrasi.
Di Bandung, Fanny yang sehari-hari berprofesi sebagai reviewer laporan audit berbahasa Inggris di sebuah konsultan akuntan publik ini mengelola Sekolah Damai Indonesia (Sekodi). Peserta Sekdoi bebas, siapapun boleh ikut. Kelas mingguannya digelar di tempat-tempat terbuka, seperti Sabtu, 28 September lalu berlangsung di Toko ’Lekker’, outlet jajanan legendaris di Jalan Braga.
”Secara umum, Sekodi punya tiga topik besar: agama, gender, dan politik. Pernah diskusi kami didatangi ‘intel’, saya dianggap menyebarkan ajaran keyakinan tertentu, atau bahkan dikira sebagai ‘proxy’ sebuah kelompok,” kisahnya.
Sekodi Bandung lahir dari Sekodi nasional tahun 2015 oleh alumni pendidikan Shcool of Peace Interfaith Corporation Forum, atau forum perdamaian se-Asia. Tema relasi antar umat beragama menjadi perhatian terbesar Sekodi, namun belakangan meluas, termasuk ke tema politik.
”Bagaimanapun semua hal dalam hidup ini tak bisa lepas dari politik. Karena itu, tema tiga bulan ke depan Sekodi membahas tentang pendidikan politik,” kata Fanny pada diskusi kemarin.
Diskusi itu menjadi menarik karena membahas tema yang jarang atau kerap dianggap tabu untuk dibicarakan terbuka: ’Ada Apa dengan SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, dan Sex Characteristic)’. Ia mendatangkan narasumber Humas Samahita Bandung Aly Ramdhany dipandu Fasilitator Sekodi Bandyng Hobie Fauzan Lumban Tobing. Samahita merupakan kelompok sosial yang berfokus pada kampanye, edukasi, dan pendampingan khusus.
”Kalau mengalami atau mengetahui tindakan diskriminasi terhadap identitas gender dan seksual, kita harus mengambil setidaknya empat sikap: Belajar, Hargai, Beri Tahu, dan Beri Ruang,” kata Aly Ramdhany.
Belajar artinya menjadi ally/sekutu yang baik dan mendengarkan dari komunitas ragam identitas gender dan seksualitas jika mereka mengatakan ada sesuatu yang salah dan harusdiperbaiki dan belajar dari kesalahan.
Hargai maksudnya jangan menghakimi seseorang, apapun identitas atau label yangmereka gunakan. Jangan menggunakan kata – kata yang sekiranya dapat menghina, walaupun kamu berpikir itu hanya bercanda.
Beri Tahu maknanya beri pemahaman mengenai isu ini ke orang-orang disekitar. Jika ada orang yang mengatakan sesuatu yang merendahkan komunitas ragam identitas gender dan seksualitas, tegur mereka!
Beri Ruang berarti berilah kesempatan untuk teman – teman komunitas menyuarakan suaranya sendiri. Jangan ambil ruang mereka seolah mereka tidak mampu untuk bersuara.
“Beri, jangan rebut micnya,” tegas Aly.
Selain ke Amerika, lewat aktivitas-aktivitas kemanusiaan seperti inilah Fanny telah melanglang buana ke Selandia Baru, Jerman, Belanda, Filipina dan lain-lain.
”Saya beruntung punya atasan di tempat kerja yang suportif. Izin untuk mengikuti berbagai konferensi di luar negeri bisa saya dapat sepanjang urusan kerjaan aman,” kisahnya.
Sukses dan terus menginspirasi, Kang Fanny!