Novel keempat Tere Liye yang saya. Setelah ‘Negeri Para Bedebah’, ‘Negeri di Ujung Tanduk’, dan ‘Bedebah di Ujung Tanduk’.
Kali ini, ‘Tanah Para Bandit’. Tebalnya 433 halaman. Berbeda dengan buku-buku di atas, lakonnya perempuan. Padma, seorang perempuan asal Sumatera, yang menjadi ‘vigilante’.
Vigilante adalah istilah orang yang mengangkat dirinya sebagai pelaku keadilan. Menegakkan hukum tanpa otoritas hukum. Vigilante merujuk pada orang yang menegakkan hukum atau keadilan dengan cara sendiri, tanpa bantuan penegak hukum resmi. Vigilante biasanya bergabung dalam kelompok dan melakukan tindakannya di luar hukum. Begitulah definisinya dari berbagai sumber.
Padma ditempa sejak kecil oleh Abu Syik. Latihan yang amat berat tapi kemudian sangat berguna. Bagaimana keterampilan mata ditutup di tengah hutan, atau menusukkan kaki hingga melubangi pohon, kelak menjadi berfaedah dalam menghabisi operasi mafia sang ’kaisar’.
Musuhknya adalah polisi, yang menembak ajudannya mati. Juga level komisaris besar yang bunuh diri saat dijumpainya di perumahan mewah. Juga jenderal bintang satu yang bundir di markas. Pun jaksa yang mati meledakkan diri di Kota Tua. Termasuk sang ’kaisar’ jenderal bintang tiga yang dihajar Padma dalam perkelahian hebat, termasuk melewati para pembunuh bayaran dari luar negeri.
Kisahnya menarik. Alurnya asyik diikuti. Tak beda dengan buku-buku lain yang menjadikan Thomas sebagai aktor utama. O ya, Padma sempat bertemu Thomas saat menjadi ’mahasiswi gelap’ di sebuah kampus negeri dan berpindah-pindah kelas antar fakultas. Anggaplah itu di Depok.
Ya, memang buku ini cukup ada kesamaannya dengan kisah nyata. Meski bisa saja penulis berkelit sebagai kebetulan semata. Kisah ajudan polisi ditembak, dan juga kebakaran gedung kejaksaan agung.
Lagi, rekomendasi buku untuk dibaca dari seorang Tere Liye.