Sebuah kota kecil yang tenang, kerap dianggap sebagai ’kota pensiunan’, bergelar kota toleran, serta Indonesia Mini. Sebutan terakhir itu terkait sebagai kota pendidikan karena banyaknya pendatang menempuh pendidikan dari berbagai penjuru nusantara ke Universitas Kristen Satya Wacana.
Malam tahun baru di Salatiga. Sepi. Tapi tenang. Kota yang berada tak jauh dari Gunung Merbabu, Gunung Ungaran, Gunung Telomoyo Gunung Payung, dan Gunung Ror itu sedang dingin-dinginnya. Rerata 22 derajat Celsius.
Kami mengitari Lapangan Pancasila, Selasar Kartini, tak segemerlap kemeriahan pesta tahun baru di kota-kota lain. Ini memang kota yang sangat ’slow living’. Beruntung, letaknya dekat dengan Semarang, Solo, dan hanya beberapa jam ke Yogya menjadikannya tak terlalu lambat bergerak.
Konon, pemberian nama Salatiga, ini salah satu kota tertua di Indonesia setelah Palembang, terjadi di era Sunan Kalijaga.
Menurut cerita rakyat yang ada, penamaan Salatiga rupanya untuk mengingat tiga kesalahan di masa Sunan Kalijaga. Dahulu kala, ada sebuah daerah yang dipimpin bupati Ki Ageng Pandan Arang alias Pandanaran yang gemar memuaskan diri dengan kekayaan. Sehari-hari, Ki Ageng memeras uang rakyat dengan menarik pajak berlebih.
Pada suatu hari, Ki Ageng Pandan Arang, bertemu dengan pak tua, tukang rumput. Kemudian, Ki Ageng meminta rumput yang pak tua bawa. Namun, pak tua menolaknya dengan alasan untuk ternaknya. Tetapi Ki Ageng tetap memintanya dan Ki Ageng menggantinya dengan sekeping uang.
Tanpa diketahui Ki Ageng Pandan Arang, Pak tua menyelipkan kembali uang itu dalam tumpukan rumput yang akan dibawa dan hal tersebut terjadi berulang-ulang. Sampai suatu kali Sang bupati menyadari perbuatan Pak tua tersebut, sehingga marahlah Ki Ageng dan menganggap bahwa Pak tua telah menghinanya.
Pada saat itu, tiba-tiba pak tua berubah wujud menjadi Sunan Kalijaga, seorang pemimpin agama yang dihormati bahkan oleh raja-raja. Maka Ki Ageng segera bersujud menyembah dan memohon ampun atas kekhilafannya.
Akhirnya Sunan Kalijaga memaafkannya dengan syarat Ki Ageng harus meninggalkan seluruh hartanya dan mengikuti Sunan Kalijaga pergi mengembara. Namun, istri bupati melanggar, ia membawa emas dan berlian dan memasukkannya ke dalam tongkat.
Di tengah perjalanan mereka dicegat sekawanan perampok. Sunan Kalijaga menyuruh perampok itu untuk mengambil harta yang dibawa istri bupati. Para perampok pun pergi membawa tongkat yang berisi emas dan berlian. Setelah perampok itu pergi Sunan Kalijaga berkata: “Aku akan menamakan tempat ini Salatiga karena kalian telah membuat tiga kesalahan”.
”Pertama, kalian sangat kikir. Kedua kalian sombong. Ketiga kalian telah menyengsarakan rakyat. Semoga tempat ini menjadi tempat yang baik dan ramai nantinya.”
Sunan Kalijaga pun mengatakan bahwa ada tiga pihak yang melakukan kesalahan di sini yakni Nyai Pandanarang, Pandanarang, dan perampok. Sehingga, kelak tempat tersebut akan menjadi kota yang ramai dan disebut dengan ’Salah Tiga’. Pada perkembangannya, nama Salah Tiga bergeser ucapannya menjadi Salatiga.
Prasasti Plumpungan Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya ’Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian’ ditulis pada hari Jumat, 24 Juli tahun 750 Masehi dianggap sebagai cikal-bakal resmi berdirinya Kota Salatiga.
Salatiga kota yang tenang, tapi juga inspirasi lahirnya intelektual hebat pemantik pergerakan berpikir di era Orde Baru hingga kini.