Solo dikenal sebagai kota sejuta kuliner. Baik mereka yang berkunjung, transit atau memang warga lokal, sangat menikmati makan. Menunya variasi, harganya terjangkau, hampir tiap bulan ada tempat usaha makanan baru.
Pilihan kami pagi itu ke ’Rawon Penjara’. Dinamakan demikian karena lokasinya di samping Rumah Tahanan Kelas I Surakarta di kawasan Jalan Slamet Riyadi, Pasar Kliwon.
Tergoda menikmatinya, saya pun men-’skip’ jadwal Intermittent Fasting hari itu. Pesona Rawon Bu Har samping Penjara begitu kuat. Sebagai orang Surabaya, tempat asal Rawon melegenda, sebenarnya rasanya tak terlalu beda. Keterkenalan, tambahan tauge dan daun kemangi begitu melimpah serta kemasan piring standarnya menjadi bench mark tersendiri. Harganya sangat ‘affordable’, tak sampai Rp 100 ribu untuk empat porsi.
Solo Pos menulis, buka sejak 1970-an, warung ini kini dikelola oleh generasi ketiga, Jaya Rupi Novemi. Perempuan muda ini baru dua tahun menggantikan ibunya, Hariyati, yang memutuskan untuk pensiun.
Resep rawon ini sebenarnya berasal dari kakek Jaya, Karso Wijoyo. Awalnya, Karso berjualan di samping Bank Mandiri Solo, lalu pindah di timur Rumah Tahanan Negara (Rutan) Solo karena dekat dengan rumah.
“Dulu kakek saya jualannya kan Bakmi Populer Pak Karso, tapi terus usaha bakmi dikasih ke pakde. Eyang saya terus jual rawon, soto, dan sambal goreng,” kata Jaya.
Nama Rawon Penjara Bu Har ternyata diberikan oleh mendiang Bondan “Maknyus” Winarno. Nama itu diberikan agar lebih menjual.
Warung ini menawarkan tiga opsi untuk pembeli, yaitu makan di tempat dengan kuah jadi satu, kuah dipisah, atau dibungkus untuk dibawa pulang.
Untuk makan di tempat dengan kuah jadi satu, harganya Rp15.000. Jika dibawa pulang, harganya Rp20.000. Untuk kuah dipisah, harganya Rp23.000.
“Kuah dipisah lebih mahal karena dagingnya kan lebih banyak,” kata Jaya.