’Daun yang Jatuh’ dan Kisah Malaikat Pengubah Hidup

Buku keduapuluh satu Tere Liye yang saya tamatkan. Genrenya roman. Tentang perjuangan hidup yang ‘too good to be true’. Dan tentang bagaimana seni mengungkapkan perasaan suka.

Judulnya ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’, 256 halaman tebalnya. Alurnya kilas balik. Maju mundur. Cerita dari dua bersaudara, Tania dan Dede. Bersama seorang ibu tunggal.

Mereka pengamen di bus kota. Sampai sang kakak tertusuk paku di atas bis di kaki telanjangnya. Lalu si ’malaikat’ itu, kemudian dikenal sebagai Danar, mengubah hidup mereka. Membelikan ini itu, menyekolahkan mereka, hingga memberi modal sang ibu membuat kue.

Cerita kemudian begitu indah. Hidup menjadi asyik. Tania sekolah dan mendapat akselerasi kenaikan kelas. SMP SMA dan kuliah di Singapura saking cerdasnya. Demikian pula Dede sang adik.

Kisah kemudian jadi roman tak terkatakan, karena ada rasa suka antara ’malaikat Danar’ dan Tania. Namun tanpa ada ’deklarasi’. Dan Danar menikah. Dengan rasa ’ngambek’ di antara keduanya. Sementara orang-orang lain -cowok domestik maupun mancanegara- yang menyukai Tania jadi sedih karena tak berbalas.

Moral storynya: rasa cinta sebaiknya dikatakan. Menjadi sulit kalau kemudian ada unsur ’utang budi’ dan sejarah baik lainnya. Cerita pun jadi lebih kompleks ketika Danar menikah. Tanpa rasa cinta. Apalagi ia seorang amat introvert.

Hidup memang harus penuh keikhlasan. Seperti salah satu quote buku ini.

 “Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah ke mana.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.