Selilit Crystal Palace

Tiga perjumpaan terakhir, Liverpool gagal menang lawan Crystal Palace.

Dengan rekor itu, apakah Crystal Palace adalah ‘kryptonite’ bagi Liverpool?

Kriptonit adalah material fiksi dari Planet Superman, Krypton, yang melemahkan dan berbahaya bagi Superman, khususnya yang berwarna hijau. Material radioaktif ini dapat merusak kesehatan Superman dan digunakan sebagai senjata untuk melawannya, meskipun tidak mematikan bagi manusia dalam jangka pendek.

Atau tim asuhan pelatih Austria Oliver Glasner bak kerikil bagi sepatu Liverpool? Perumpamaan itu mengingatkan kisah provinsi ke-27 Indonesia kala Menteri Luar Negeri kala itu, Ali Alatas, kerap menyebut persoalan Timor Timur sebagai ‘kerikil dalam sepatu’ perjuangan diplomasi Indonesia. Pria yang disebut Tirto sebagai ‘mimpi basah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional atau siapa pun yang bercita-cita atau sedang merintis karier menjadi diplomat di Indonesia’ ini bahkan menulis satu buku khusus tentang Timor Timur, The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor (2006). By the way, 26 Oktober 2025 kemarin, Timor Leste resmi menjadi anggota ke-11 ASEAN.

Saya sih lebih suka menyebut Crystal Palace sebagai selilit. Sisa daging yang teronggok di sela-sela gigi. Membiarkannya bisa menjadi masalah karena kalau membusuk akan membahayakan kesehatan gigi. Tapi, ternyata mencungkilnya dengan tusuk gigi pun bukan perkara mudah.

Entah kriptonit, kerikil, atau selilit, yang jelas Arne Slot selalu kesulitan melawan benteng Istana Kristal. Pada pertemuan pertama Slot melawan Glasner di Liga Primer 2024/2025, almarhum Diogo Jota menyumbang satu-satunya gol untuk laga 5 Oktober 2024 di Selhurts Park. Tapi, justru putaran kedua di Anfield, 25 Mei 2025, nilai penuh gagal diraih. Ismaila Sarr menciptakan gol cepat menit ke-9 dan beruntung Mo Salah menciptakan gol penyama kedudukan di menit ke-84 setelah Ryan Gravenberch diusir dari lapangan pada menit ke-68. Pembenaran saat itu, The Reds sudah memastikan gelar juara dan menikmati berbagai pesta dari pekan ke pekan.

Pun di Community Shield Agustus 2025. Mempertemukan Liverpool sebagai juara Liga dan Palace sebagai kampiun Piala FA. Laga normal berakhir 2-2. Dua gol pemain baru Liverpool Hugo Ekitike dan Jeremie Frimpong dibalas penalti Jean-Philip Mateta dan lagi-lagi lesakan Ismaila Sarr. Dua eksekutor penalti terbaik Liverpool, Salah dan Alexis Mac Allister, gagal menunaikan tugasnya, disusul Harvey Elliott melakukan kesalahan serupa. Jadi, meski Cody Gakpo dan Dom Szoboszlai sukses menjaringkan bola, tapi Palace jadi juara karena hanya dua penendangnya yang gagal.

Toh, Kopites masih memaafkan. Mitosnya, siapa yang juara Community Shield akan sulit jadi juara Liga di musim berikutnya.

Petaka terjadi ketika Liverpool tumbang di Liga Inggris 2025/2026. Palace menjadi satu dari Trio London, selain Chelsea dan Brentford, yang membuat pasukan Slot pulang away dengan tangan hampa. Gol Fede Chiesa menyamakan kedudukan jelang laga usai jadi sia-sia karena gol Eddie Nketiah pada menit 90+7 melengkapi kemenangan 2-1 setelah Ismaila Sarr lagi-lagi bikin gol cepat menit ke-9.

Saat Liga Inggris tayang awal 1990-an lewat layar televisi tabung dari stasiun SCTV, Crystal Palace menjadi salah satu tim yang saya kenal. Tanpa bermaksud rasis, tim ini tampaknya menjadi favorit bagi para pemain berkulit hitam untuk berkumpul menjadi kekuatan besar. Final Piala FA Cup 1990 menjadi buktinya. Crystal Palace menahan imbang Manchester United 3-3 di Wembley. Perlu laga ulang lima hari kemudian sebelum MU memastikan jadi juara lewat gol tunggal bek Lee Martin ke jala Nigel Martyn.

Selain kiper Nigel, Palace di bawah asuhan eks pemain MU Steve Coppell saat itu diperkuat Ian Wright, John Salako, Mark Bright, dan kapten Geoff Thomas. Itulah musim jaya-jayanya Crystal Palace. Pada akhir Liga Inggris 1990/1991, tim berjuluk ‘The Eagles’ ini ada di posisi ketiga di bawah juara Arsenal dan runner-up Liverpool. Prestasi tertinggi mereka di kasta tertinggi, yang sayangnya tak membuat Palace main di Eropa karena Inggris diskorsing lima tahun buntut Tragedi Heysel.

Setahun kemudian, Palace ada di posisi ke-10 yang membuatnya menjadi salah satu pendiri ’Liga Inggris versi baru’ sejak 1992. Sayang, di musim pertama EPL, Palace anjlok di posisi ke-19 dari 22 tim dan membuatnya terdegradasi bersama Middlesbrough serta Nottingham Forest. Poin 49 yang dikumpulkan mencatatkan Palace sebagai rekor nilai tertinggi dari klub terdegradasi hingga saat ini. Meski saat itu peserta liga utama Inggris diikuti 22 tim, bukan 20 klub seperti sekarang.

Musim-musim bak permainan ’yoyo’ kemudian dialami Palace. 1997 balik ke Liga Primer, lalu jatuh lagi setahun berikutnya. Bahkan, Palace sempat hampir relegasi ke kasta ketiga pada musim 2000-2001.

Sejak kembali ke Liga Primer pada 2013, manajer datang silih berganti ke Selhurst Park. Dari Tony Pulis, Alan Pardew, lalu manajer luar Inggris pertama Palace, Frank de Boer, yang hanya bertahan 77 hari. Kemudian datang era Patrick Viera, Ray Hodgson,  dan eks coach Eintracht Frankfurt Oliver Glasner, yang tahun lalu memberi ‘major trophy’ pertama dengan menaklukkan Manchester City 1-0 di final Piala FA 2025 lewat gol Eberechi Eze.

Di musim pertamanya, Glasner membawa Palace ke peringkat tertinggi EPL seperti 2015, yakni di posisi ke-10. Sebagai ganjarannya, empat pemain Palace (Eze, Marc Guehi, kiper Dean Anderson, dan Adam Wharton) terpilih masuk timnas Inggris menuju Piala Eropa 2024, melebihi pencapaian klub Inggris lain. Tim Gareth Southgate akhirnya menjadi runner-up Piala Eropa 2024 Jerman di bawah Spanyol.

Crystal Palace-nya Oliver Glasner bukan tim medioker. Selain merebut Piala FA, musim lalu mereka memang hanya berakhir di posisi ke-12, beda 31 poin dari sang juara Liverpool. Tapi, tim ini benar-benar punya karakter baru.

Glasner mengubah Palace dari tim yang pasif menjadi tim dengan transisi cepat. Fokus pada serangan langsung (vertical play), memanfaatkan ruang di belakang lawan. Sepeerti kala melatih Wolfsburg dan Frankfurt, Glasner dikenal dengan formasi tiga bek, 3-4-2-1, dengan wing-back yang aktif naik turun. Tyrick Mitchell, Daniel Muñoz atau eks Liverpool Nathaniel Clyne punya peran besar dalam menghubungkan lini belakang dengan serangan.

Problemnya sekarang, baik Liverpool maupun Palace sama-sama lupa rasanya menang. Liverpool kalah di empat laga EPL beruntun, sementara Palace -sejak menang atas Liverpool 2-1 dan menaklukkan Dynamo Kyiv 0-2 di Liga Konferensi, rekor buruknya diwarnai kalah 1-2 dari Everton, seri 3-3 vs Bournemouth dan juga keok 0-1 dari Arsenal, lewat gol sang mantan Eberechi Eze. Di sela-sela itu juga kalah dalam laga kandang Liga Konferensi, 0-1 dari klub asal Siprus AEK Lamaca.

Oliver Glasner pun tak habis pikir kenapa akhir-akhir ini Liverpool begitu busuk. Menurutnya, Liverpool jelas tim hebat, yang entah kenapa kehilangan performa terbaiknya.

“Tapi bukan tugas saya untuk menganalisis apa yang terjadi di Liverpool. Kami akan menghadapi mereka untuk ketiga kalinya musim ini. Saya rasa kami bermain cukup baik di dua pertandingan pertama. Jadi, kami mengandalkan apa yang bisa kami lakukan dan apa yang ingin kami lakukan. Kami tidak bisa meniru tim lain. Dan kami tidak ingin meniru tim lain, begitulah cara kami menghadapi pertandingan ini,” kata pria 51 tahun itu dalam wawancara sebelum Piala Carabao yang digelar Kamis, dini hari, pukul 20.45 WIB nanti.

Di kubu Liverpool, Arne Slot memilih tidak menghadiri konferensi pers resmi sebelum laga. Memang, di Piala Liga, jumpa media bukan hal wajib. Dan, seperti saat menang 2-1 lawan Southampton di babak 32 besar, Liverpool juga lebih memilih fokus mempersiapkan tim daripada datang ke konferensi pers yang kalau tak dihadiri juga tak membawa konsekuensi hukum apapun.

Penyerang Liverpool asal Italia, Federico Chiesa kesulitan menemukan jawaban tunggal atas kekalahan beruntun Liverpool.


“Ada banyak alasan, dan bukan hanya satu. Kami tidak menang. Di awal musim, kami menang dan tidak ada yang mempertanyakan ini dan itu,” kata anak eks pemain timnas Italia yang tiga kali bermain di Sampdoria, Enrico Chiesa.

Fede Chiesa mengajak pendukung Liverpool berpikir positif. Dalam doorstop media saat persiapan tim ia berujuar, “I don’t know if you say this in English but in Italy we say: ‘Winning brings winning.’ So we want to win against Palace. That’s it.”

Benarkah yang dikatakan Chiesa? Liverpool akan kembali menang melawan Crystal Palace dan membawa The Reds terus menang lawan Aston Villa, Real Madrid, Manchester City dan sederet lawan lainnya?

‘Unity Is Strength’. Persatuan adalah Kekuatan. Banner besar itu akan dikibarkan pencinta Liverpool di The Spion Kop, tribun belakang gawang sisi selatan Anfield, jantung atmosfer legendaris stadion Liverpool.

Winning brings winning, semoga jadi titik balik, seperti kata Chiesa, pencetak gol terakhir Liverpool ke gawang Crystal Palace…

Selamat tidur sebelum begadang subuh nanti. Winning brings winning, atau kembali terganjal selilit di sela-sela gigi…

***

Postcription: Crystal Palace menang 3-0 di Anfield dan menghancurkan harapan Liverpool kembali ke final Piala Liga. Ismaila Sarr kembali jadi hantu dengan mencetak dua gol ke gawang The Reds.

Leave a Reply

Your email address will not be published.