Bakmi Gandhok di Jogja populer di media sosial. Tapi, tak hanya viral, bakmi ini juga menjanjikan kelezatan sepadan ketenarannya.
Akhir pekan itu kami ber-Malam Minggu di Bakmi Gandhok. Lokasinya tak jauh dari Kraton Jogja, tepatnya di Jalan Nogosari Lor 10, Kadipaten, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Sejak awal, memang sudah sadar risikonya, menjadi tamu waiting list.
“Antreannya sekitar 65 menit ya, Pak, Bu,” kata petugas yang mengatur lalu lintas mobil di area parkir.

Informasi serupa juga disampaikan para petugas penerima order dan kasir. Saat itu, pukul 19.55 WIB. Dengan sarana handy talky (HT), para petugas dari meja pemesanan bakmi, coffe, area taman, hingga layanan parkir saling memberikan informasi yang riil dan terkoneksi. Kami memesan tiga porsi Nasi Goreng Magelangan dan seporsi Bakmi Goreng Nyemek. Bersantai, ngobrol, dengan gambaran berapa lama lagi hidangan utama akan tiba.
Raffi dan Fauzi, dua petugas di meja order dan pembayaran itu sangat sopan. Mereka masih seusia mahasiswa, dengan t shirt bebas a la anak main. Bukan pakai seragam formal layaknya kafe.

”Kami dari beraneka latar kampus,” kata Raffi sambil menghaturkan struk pembayaran.
Selain dua menu makanan berat itu, ada opsi lain yakni capcay, rica balungan, rica ceker moprol, dan rica ayam kampung. Selain itu, ada pilihan jamur, ayam suwir, uritan, kepala, sayap, dan paha ayam kampung. Minumannya komplet, dari es jeruk, wedang uwuh, secang sere, sampai Saparella.

Ternyata, tak sampai sejam. Baru 20.35 WIB satu per satu makanan itu datang. Cepat juga. Padahal, untuk menunggu ’main course’ keluar, kami sudah pesan Tahu Gandhok dua porsi –masing-masing lima biji- dari Gandhok Coffee, sebuah kafe di depan area Bakmi Gandhok. Dua brand ini, Bakmi Gandhok dan Gandhok Coffee, berada dalam satu manajemen.
Di sebuah posting Youtube, pemilik Bakmi Gandhok, Bayu Arianto, menjelaskan makna ’gandhok’ yakni bagian samping dari rumah Jawa, yang berfungsi menunjang fungsi utama rumah induk.

”Mengapa diberi nama Bakmi Gandhok, karena dulu kami bukanya di samping rumah, tepatnya di garasi. Bakmi Gandhok buka sejak 2017, menyusul kedai kopinya dua tahun kemudian. Sehari-hari melayani dari pukul 16 hingga 22,” terangnya.
Pesanan snack dan minuman dari coffee shiop depan bisa dibawa ke belakang. Di dapur nampak enam tungku dari pemasak yang kebanyakan berasal dari warga lokal. Setiap porsi dimasak spesial di satu tungku.

Isteri Bayu, Nunuk Irihastuti menjelaskan, mengapa ada signage Kedai Zapiekanka di area Bakmi Gandhok. Tak lain karena sebelum memiliki resto bakmi dan tempat ngopi di situ, mereka terlebih dulu membuka Kedai Zapiekanka, roti panggang khas Polandia, di kawasan Gejayan, Sleman.
”Akhirnya, kedai roti, kopi, dan bakmi kami jadikan satu di Nogosari Lor 10 ini. Zapiekanka sendiri kemudian menjadi salah satu menu di Gandhok Coffee,” ungkapnya.

Nunuk menambahkan, ide membuat usaha Bakmi Gandhok dan Gandhok Coffee di tengah ramainya kuliner Yogyakarta, salah satunya untuk menunjang pariwisata kota pelajar itu.
”Yogya terkenal sebagai salah satu destinasi wisata utama di Indonesia. Nah, kami ingin menguatkan citra wisata kuliner Yogya, khususnya dengan memadukan cita rasa tradisional khas Yogya yaitu Bakmi Jawa (Bakmi Gandhok) dan cita rasa modern di Gandhok Coffee, dalam satu area, yang kami upayakan dapat memberi rasa nyaman bagi customer Gandhok dari berbagai lapisan usia,” jelas Nunuk.

Jovita Retnani, warga lokal kampung Ngadiwinatan, Ngampilan, tamu Bakmi Gandhok malam itu melontarkan pujiannya.
”Enak banget. Baru pertama ke sini. Ternyata tak hanya viral di medsos, tapi kualitas masakan dan layanannya jempolan. Apalagi dilayani mas dan mbak mahasiswa yang ramah dan cekatan,” kata Vita.
Semoga Bakmi Gandhok terus jaya, dan jadi ’klangenan’, referensi utama bagi yang kangen pulang ke Yogyakarta.
